Pagi ini seperti biasanya Andi
bangun pukul empat, hal ini selalu dilakukanya karena ia harus mengerjakan
pekerjaan rumah. Mulai dari mencuci piring, menyapu rumah, memasak nasi dan
mencuci pakaian ibu serta adiknya. Sebenarnya pekerjaan ini bukanlah tugas
Andi, namun ia terpaksa harus melakukannya karena ibunya sedang sakit.
Andi seorang anak laki-laki yang masih berusia 9 tahun. Sebenarnya Andi
adalah anak yang cerdas di sekolahnya, pada saat kelas 1 SD ia sudah mampu
membaca dan berhitung dan ia selalu menjadi juara di kelasnya. Pada saat Andi
berumur 8 Tahun ayahnya meninggal dunia karena sakit TBC, sehingga tidak ada
lagi yang mampu membiayai sekolahnya. Selain itu, tidak ada beasiswa dari
sekolah, sehingga Andi terpaksa berhenti sekolah pada saat masih duduk di kelas
3 SD.
Ibunya sakit sudah sejak satu minggu yang lalu, karena tidak ada biaya
untuk berobat ke rumah sakit maka sakitnya pun tidak kunjung sembuh. Andi yang seorang tukang semir sepatu tidak mampu untuk membeli
obat yang mahal bagi ibunya, ia hanya mampu membeli obat penurun panas dan obat
batuk saja, itupun tidak dapat ia beli semuanya.
Andi memiliki seorang adik perempuan yang baru berusia 5 tahun, adiknya
masih belum mengerti cara mengurus keperluan di rumah, paling hanya mampu
menjaga ibunya dan mengambilkan minuman untuk ibunya jika merasa haus.
Sedang sibuknya menyapu lantai, ia tanpa sengaja melihat ke arah
kalender yang terpajang di dinding rumah mereka, sebenarnya jika dibilang rumah
mungkin terlalu berlebihan. Tempat tinggal mereka tersebut malah lebih pas jika
disebut dengan gubuk, karena dindingnya terbuat dari bambu dan jika ada yang
bolong mereka hanya mampu menambalnya dengan kardus bekas dan kadang jika hujan
mereka terpaksa mengganti kardus tersebut. Ukuran rumahnya pun hanya seluas 4 x
5 meter saja.
Setelah melihat kalender tersebut Andi tertegun karena tanggal 26
Agustus yang tertera di kalender tersebut terdapat bulatan warna merah dan ada
tulisan di atasnya, karena tulisannya terlalu kecil dan sulit untuk di lihat
olehnya, maka Andi mendekat ke arah kalender tersebut. Ia ingat bahwa tulisan
tersebut adalah tulisannya dan yang membulatkan tanggal itupun adalah ia juga.
Pada kalender tersebut tertulis “ Ulang Tahun Ibuku Sayang”, ia baru ingat
sekarang kalau hari ini adalah ulang tahun ibunya.
Andi ingin sekali memberikan hadiah di ulang tahun ibunya, ia berharap
jika ia dapat memberikan hadiah untuk ibunya, makanya ibunya akan bahagia dan ibunya
akan cepat sembuh. Andi binggung ingin memberikan hadiah apa untuk ibunya, ia
tahu kalau ia tidak mungkin bisa membeli
ibunya hadiah yang bagus.
Setelah berpikir cukup lama, ia ingat ada toko bunga yang menjual mawar
dan pemilik toko bunga itu adalah langganannya, jadi ia mungkin dapat membeli
dengan harga yang jauh lebih murah.
“Ka Andi....”
“Ka Andi....”
Tampak sebuah
tangan menyentuh punggung Andi.
“Ka....”
Andi kaget dan
sontak membalikkan badannya.
“Aduh kamu ini
Lu, bikin kaka kaget saja. Emang sejak kapan kamu ada di belakang kaka?”
“Ye, kaka saja
yang aneh, dari tadi Lulu liat kerjaannya ngelamun saja, sampai gak sadar kalau
Lulu sudah di sini.” Seru Lulu.
“Emang kaka
lagi ngelamunin apa sih? Hayo, pasti ngelamunin Mirna ya?” Tanya Lulu.
“Hus kamu
ada-ada saja, kaka masih belum cukup umur buat mikirin hal itu.”
“Gak kog, kaka
gak lagi mikirin apa-apa, kaka cuman lagi ngeliatin kalender saja.” Jawab Andi
“Emang ada apa
kak di kalender itu?” Tanya Lulu lagi.
“Kamu tau gag
hari ini hari apa?” Andi balik bertanya.
“Hari Rabu ka.
Emang kenapa? Tanya Lulu semakin penasaran.
“Bukan itu
maksud kaka, kamu tau gak kalau ibu hari ini ulang tahun?”
“Enggak tau
ka. Emang ibu ulang tahun hari ini ya ka?”
“Iya Lu,
makanya tadi kaka ngelamun karena lagi mikirin mau ngasih hadiah apa buat ibu.”
“Owh, trus
kaka mau ngasih hadiah apa buat ibu? Emang kaka punya uang buat beliin ibu
hadiah?”
“Kaka mau
beliin ibu bunga lu, kamu setuju ga? Kalau sekarang kaka belum punya uang, tapi
nanti kaka mau ngumpulin uang dari nyemir sepatu untuk beli bunga buat ibu.”
“Lulu setuju
ka, tapi kalau uang hasil kaka nyemir buat beli bunga trus kita makan apa dong
ka?” Tanya Lulu bingung.
“Tenang Lu,
nanti kaka nyemir sepatu yang banyak biar kaka dapat uangnya yang banyak juga.”
“Emang bisa
ka?”
“Lulu percaya saja
sama kaka, gak ada yang gak bisa kalau kita mau berusaha” Ujar Andi optimis
“Ka, Lulu
bantuin kaka nyemir sepatu ya biar cepat dan banyak dapat uangnya.”
“Gak usah Lu,
Lulu jagain ibu saja ya. Kasian gak ada yang bantu ibu kalau ibu mau minum atau
mau ke belakang.”
“Iya deh ka,
tapi kaka janji ya bakalan bawa bunga buat ibu sama makanan juga buat kita.
Entar Lulu doain deh biar kaka hari ini dapat uang yang banyak.” Ujar Lulu.
“Amin”
“Lulu! Jangan
bilang ke ibu ya kalau kaka mau ngasih hadiah ke ibu, nanti saja kalau kaka sudah
beli bunganya!”
“Tapi, kalau
ibu nanya gimana ka?”
“Ibu gak
mungkin nanya tentang hadiah kog.”
“Iya deh ka.”
“ Ya udah,
kalau gitu Lulu bantuin kaka bersih-bersih rumah biar cepat selesai jadi kaka
bisa cepat berangkat nyemir sepatunya.”
“Siap kaka.”
Seru Lulu sambil tangan kanannya diangkat ke atas mendekat ke pinggir kepalanya
persis seperti seorang prajurit yang sedang hormat pada komandannya.
Andi tersenyum-senyum melihat tingkah polos adiknya, dan
mengelus-ngelus kepala adiknya penuh kasih sayang.
15 menit kemudian, pekerjaan rumah pun selesai dikerjakan, ia pun
bergegas mengambil pakaiannya, peralatan mandi dan bersiap-siap untuk mandi,
tapi sebelumnya ia menunggu Lulu terlebih dahulu. Biasanya mereka mandi bersama
dengan ibunya, jika mereka mandi ibunya mencuci pakaian yang sudah dititipkan
orang lain untuk di cuci. Ibu Andi bekerja sebagai buruh cuci pakaian dan
pekerjaan itulah yang membantu biaya hidup mereka.
Jarak tempat pemandian umum dari rumah Andi kira-kira 200 m. Pemandian
umum tersebut digunakan oleh sebagian besar warga yang tinggal di pemukiman
kumuh tempat Andi dan keluarganya tinggal. Pada saat mereka tiba di pemandian
umum tersebut suasananya masih sepi karena pada saat itu masih pukul setengah
enam pagi, hanya ada tiga orang ibu-ibu yang sibuk mencuci pakaian. Sama
seperti ibu Andi, mereka juga bekerja sebagai buruh cuci pakaian.
“Pagi bi.” Sapa Andi yang sedang sedang
mencuci tersebut.
“Pagi Ndi,
Pagi juga Lu” Balas mereka.
Lulu hanya senyum-senyum saja tanpa menyahut ucapan ibu-ibu tersebut.
Wajarlah karena baru berumur lima tahun jadi belum terlalu mengerti.
“Mau mandi
ya?”tanya seorang ibu yang menggunakan daster warna biru tua motif bunga-bunga.
“Iya bi.” Jawab
Andi.
“Ayo mandi
sini, nanti bibi yang pompakan airnya.”Ujar seorang ibu yang agak gemukan
menggunakan daster berwarna merah.
“Gak usah bi
biar Andi sendiri yang pompa. Gak enak ngerepotin, bibi kan lagi sibuk nyuci.”
“Gak apa-apa
kog lagian cucian bibi sudah hampir selesai juga.”
“Ayo sini Lu
biar bibi mandiin sekalian.”
Lulu yang masih polos
mendengarkan ucapan tersebut segera menghampiri dan membuka semua pakaiannya.
“Dasar Lulu.” Ujar
Andi agak cemberut.
Ibu-ibu itu
hanya tersenyum melihat tingkah laku mereka.
Sekitar 10
menit lamanya mereka pun selesai mandi, mereka lalu beranjak pulang.
“Makasih ya bi,
udah dibantuin mandinya.”
“Iya sama-sama.”
“Andi sama
Lulu pulang duluan ya bi, kasian ibu sendirian di rumah.”
“Ibu kamu
masih belum sembuh ya Ndi?” Tanya Ibu yang agak gemuk
“Belum bi,
tolong doain ya bi biar ibu Andi cepat sembuh.”
“Iya pasti.”Sahut
ibu-ibu tersebut secara bersamaan.
“Kami pulang
dulu ya bi.”
“Iya, salam
buat ibumu ya.” Ibu yang satunya lagi menyahut.
Andi tidak
menyahut, ia menggangguk sambil tersenyum simpul.
Sesampai dirumah andi segera menyiapkan peralatan semir sepatunya,
sedangkan lulu menyediakan makanan.
Hari ini mereka hanya makan nasi dan kerupuk yang baru saja mereka beli
pada saat pulang mandi tadi. Karena tidak ada uang untuk membeli ikan atau
daging jadi mereka makan seadanya. Mereka sudah terbiasa dengan makanan seperti
itu, bahkan mereka pernah makan dalam hanya satu kali sehari dan itupun hanya
satu piring dibagi tiga.
Setelah
selesai makan Andi lalu berpamitan dengan ibunya untuk berangkat bekerja. “Bu,
Andi berangkat dulu ya, doain Andi biar hari ini bisa dapat uang yang banyak,
jadi bisa beliin obat buat ibu.”
“Iya nak
pasti, hati-hati ya di jalan jangan sampai Andi ditangkap dan juga dipalak sama
preman.” Sahut ibunya dengan suara serak dan kadang-kadang terbatuk-batuk.
“Iya bu.”
Stasiun kereta pagi ini sangat sepi, hanya beberapa orang saja yang
sibuk melakukan aktivitasnya masing-masing, hanya ada beberapa orang yang
nampak duduk di kursi panjang tempat menunggu kereta yang akan datang.
Andi baru saja tiba di stasiun kereta tersebut, stasiun kereta
merupakan tempat yang sering di datangi Andi untuk mencari orang yang
memerlukan jasanya. Beruntung hari ini ia datang lebih pagi, belum ada penyemir
sepatu lainnya, sehingga Andi bisa mendapatkan uang lebih cepat dan banyak hari
ini. Andi melihat seorang bapak berusia kira-kira 50an lebih yang sedang duduk
di kursi tunggu sambil membaca koran, tampaknya bapak itu sangat serius dengan
bacaannya. Andi lalu mendekati bapak tersebut berharap ia mau sepatunya di
semir oleh Andi.
“Permisi om,
maaf mengganggu, mau semir sepatu?” Tanya Andi dengan sopan.
Bapak itu pun mempelihatkan wajahnya yang dari tadi tertutup oleh
koran, ia menatap tajam ke arah Andi dan tersenyum.
“Boleh dik,
berapa ongkosnya untuk semir sepatu?” Bapak itu balik bertanya.
“Lima ribu om,
gag beda kog sama penyemir sepatu yang lain” Ucap Andi sambil tersenyum.
Bapak itu pun itu tersenyum melihat kelakuan Andi yang begitu polos dan
segera memajukan kakinya kearah Andi. Nampak bapak tersebut menggunakan sepatu
pantofel hitam yang terbuat dari kulit, dan Andi yakin harganya pun pasti mahal.
Sepatu tersebut sebenarnya tidak terlalu kotor, namun karena merasa
kasihan melihat Andi yang masih kecil namun harus berjuang mencari uang demi sesuap
nasi. Ia salut dengan Andi yang lebih memilih menyemir sepatu dibandingkan
dengan anak-anak kecil yang kurang mampu lainnya yang malah mengemis daripada
memberikan jasa.
“Om mau
berangkat ke mana?” Tanya Andi kembali membuka pembicaraan.
“Om gak mau pergi
kemana-mana, om lagi nunggu anak sama istri om yang datang dari Surabaya.”Jawab
bapak itu
“Oh, anak om
sekolah di sana ya?’
“Engga, mereka
cuman mau mengunjungi keluarga di sana soalnya sudah lama tidak ke sana.”
“Oh” Terdiam
sebentar dan kembali bertanya.
“Kog om gak
ikut ke Surabaya juga?”
“Gak bisa, soalnya om masih banyak kerjaan di
sini.”
“Memangnya om
kerja apa?”
Bapak itu
tersenyum karena Andi terus saja menanyainya.
“Om kerja di
perusahaan, kalau om gak kerja gak ada yang bisa mengurusi perkerjaan om.”
“Oh.”
“Ngomong-ngomong
dari tadi kita ngobrol, om belum tau nama kamu?”
“Oh iya ya om.”
Andi tersenyum “Nama saya Andi om, kalau om?”Andi balik bertanya
“Panggil aja
om Herman.”
“Kamu masih
sekolah ya?”
“Udah gak om,
soalnya gak ada uang buat ngelanjutin sekolah”
“Oh begitu.”
“Orang tua
kamu gak kerja ya, sampai-sampai kamu gak bisa sekolah?”
“Bapak Andi
sudah meninggal om, ibu saya sedang sakit jadi saya harus kerja sendiri buat cari uang.” Jawab Andi dengan
tampang sedikit murung.
Menggangguk-angguk
“Maaf ya om tadi cuman nanya dan gak
bermaksud bikin kamu sedih”
“Gak apa-apa
kog om, Andi sudah biasa kog.”
“Ibu kamu
sakit apa?”
“Gak tau om,
soalnya Andi gak punya uang buat bawa ibu ke dokter.”
Bapak itupun
termenung sejenak.
“Kamu anak
satu-satunya ya?”
“Gak kog om, di
rumah Andi punya adik perempuan namanya Lulu, tapi masih umur lima tahun, jadi
gak bisa bantu Andi kerja soalnya harus jaga ibu dirumah. Kasian kalau ibu
sendirian dirumah gak ada yang bantu ibu kalau perlu sesuatu.”
Bapak itu
kembali termenung dan melamun.
“Udah selesai
nih om semir sepatunya.”
Terkaget dan
tersadar dari lamunannya karena mendengar suara Andi ”Oh sudah ya?”
“Wah bersih ya semiran kamu, sepatu om jadi
kaya baru lagi.” Ujar bapak itu sambil tersenyum.
Andi pun ikut
tersenyum.
“Nih upah buat
kamu.” Sambil menyodorkan uang berwarna biru yang bernilai lima puluh ribu
rupiah.
“Aduh om
uangnya kebesaran, Andi gak punya uang untuk kembaliannya.”
“Udah ambil
aja semuanya, anggap aja itu bonus buat kamu.”
“Gak mau om.” Andi
menolak.
“Soalnya kata
ibu Andi, Andi gag boleh ngambil uang yang bukan hak Andi.”
Bapak itu kembali tersenyum, kerana ia jarang menemukan orang jujur
seperti Andi, bahkan di tempatnya bekerja sekalipun. Ia lalu memasukkan uang
lima puluh ribu tersebut dan mengeluarkan uang senilai sepuluh ribu rupiah.
“Ya udah ini
sepuluh ribu buat kamu, jangan ditolak lagi. Anggap aja bonus buat kamu karna
sudah nyemir sepatu om bersih sekali sampai terlihat kinclong.”
“Tapi om.”
“Udah ambil
aja”Sahut bapak itu sambil segera memegang tangan Andi dan menaruh uang
tersebut ke telapak tangan Andi.
“Makasih ya
om, nanti kapan-kapan kalau ke sini lagi biar Andi aja yang semir sepatu om dan
om gak perlu bayar lagi ke Andi soalnya om sudah sudah ngasih DePe duluan”Seru Andi
polos.
Bapak itu
hanya tersenyum dan menggangguk.
“Om Andi
permisi dulu ya. Semoga istri dan anak om sampai ke sini dengan selamat dan
semoga om sehat selalu.”
“Amin, kamu sama
adikmu juga semoga sehat selalu dan ibu kamu juga cepat sembuh.”
“Amin, makasih
ya om.”
“Iya
sama-sama. Hati-hati ya.”
Andi mengangguk dan beranjak dari tempat bapak tersebut dan berusaha
mencari orang lain yang mau menerima semir sepatu darinya.
Waktu menunjukkan pukul delapan pagi, sudah 3 orang yang telah disemir
sepatunyaa oleh Andi, dan uang yang dikumpulkan Andi sudah dua puluh ribu
rupiah. Karena merasa lelah Andi lalu mencari tempat duduk, ia duduk di lantai
dekat WC umum stasiun Kereta Api.
Orang-orang sudah banyak berdatangan ke stasiun kereta, tidak hanya
penumpang, para penjual asongan, pengamen dan penyemir sepatu seperti Andi pun
banyak berdatangan. Andi sudah biasa dengan keadaan ini, ia tidak menganggap
mereka adalah saingannya, ia malah senang karena bisa memiliki banyak teman,
meski terkadang ada saja mereka yang mengganggunya bahkan mengambil pelanggan
tetapnya,namun Andi tidak pernah marah karena ia yakin masih ada rejeki di
tempat lain.
Nampak dua orang anak kecil hampir seumuran Andi datang mendekat
padanya. Andi tersenyum melihat kedatangan dua orang itu. Mereka berdua adalah
Ito dan Ujang teman akrab Andi sesama penyemir. Ito perawakannya lebih kecil
dari Ujang, sedangkan Ujang perawakannya tinggi besar dan gemuk. Tidak akan ada
yang menyangka jika usia Ujang baru 10 Tahun, orang-orang sering mengganggapnya
sudah berumur 15 tahun karena postur tubuhnya yang bongsor sudah seperti anak
SMA pada umumnya.
“Kog kalian
berdua baru datang? Andi malah udah dari jam 6an ada di sini” Tanya Andi
“Loh, bukannya
emang dari dulu gue sama Ujang datangnya jam segini, lo jugakan biasanya datang
jam segini. Seharusnya kami yang nanya ke elo, tumben lo datang lebih cepat.” Ujar
Ito sambil di iyakan oleh Ujang.
“Hehe,iya ya.
Kebetulan hari ini perkerjaan di rumah bisa selesai lebih cepat jadi Andi bisa
berangkat lebih cepat juga.” Jawab Andi.
“Kamu udah
dapat berapa Ndi?”Tanya Andi.
“Syukurlah jam
segini Andi sudah bisa dapat uang dua puluh ribu rupiah.”
“Wah lumayan
juga tuh, brarti hari ini lo dapat banyak rejeki dong. Jadi, lo bisa beli obat
buat ibu lo yang sakit.” Seru Ito.
“Oh iya, ibu
lo masih sakit ya Ndi?” Ujang pun bertanya pada Andi.
“Ye, masa lo
nanya lagi, kan gue udah bilang kalau Andi lagi dapat banyak rejek hari ini,
jadi dia bisa beliin obat buat ibunya.” Sahut ito sebelum Andi menjawab
pertanyaan Ujang.
“Oh tadi kamu
ada ngomong gitu ya, kog gue gag tau ya?”
Menggeleng-gelengkan
kepala “Lo tadi tidur ya, mpe gak denger apa yang lagi kami omongin?”
“Enggak kog.” Seru
Ujang dengan tampang yang sedikit bingung.
Andi tersenyum melihat kelakuan kedua temannya tersebut. Ujang memang
sedikit agak aneh orangnya atau bisa di bilang agak telmi. Kalau ngomong sama
dia perlu dijelaskan beberapa kali baru dia mengerti, beda dengan Ito yang
sifatnya aktif dan banyak bicara.
“Iya nih,
tolong doain ya moga ibu saya bisa cepat sembuh.”
Sip, kami
pasti doain kog biar ibu lo cepat sembuh. Ya gak Jang?” Balas Ito.
Ujang hanya
mengangguk,karena ia takut salah ngomong lagi.”
“Amin, kalian
berdua gak cari pelanggan ya? kog malah asyik ngobrol di sini, nanti malah
langganan kalian diambil teman-teman yang lain.”
“Oh iya ya,
sampe lupa gue. Lo sih Jang yang kebanyakan ngomong jadi bikin gue lupa buat
cari duit.” Sahut Ito ke Ujang dengan gaya agak marah, padahal sebenarnya ia
hanya bercanda.
“Kog nyalahin
gue, kan elo yang paling banyak ngomong dari tadi. Iyakan Ndi?” Ujang mencoba
meyakinkan perkataannya dengan bertanya pada Andi.
Andi hanya mengangguk dan tersenyum untuk menjawab pertanyaannya dari
Ujang.
“Ya udah kita
pergi dulu ya. Lo hati-hati ya jangan sampai di palak sama preman lagi.” Kata
Ito dan segera berlalu pergi sambil menarik tangan Ujang.
Andi kembali menganggukkan kepalanya dan membiarkan kedua temannya
pergi. Andi kemudian bangkit berdiri dan segera berusaha mencari orang lagi
yang mau disemir sepatunya. Andi berharap hari ini penghasilannya banyak,
sehingga ia bisa membeli hadiah untuk ibunya dan juga membeli makanan untuk
mereka bertiga.
Tidak terasa hari sudah semakin siang, dan waktu sudah menunjukkan
pukul satu 11 siang. Uang yang didapat Andi sudah mencapai tiga puluh lima ribu
rupiah. Karena merasa haus ia segera mencari warung di dekat stasiun kereta api
untuk mmbeli minuman.
Sesampai di warung kecil Andi segera memesan es teh dan diminta
dibungkus dalam plastik agar mudah ia bawa kemana-mana. Ia tidak ingin membeli
makanan, karena ia tahu saat ini pasti adik dan ibunya pun belum makan, dan ia
tidak ingin mementingkan dirinya sendiri. Andi sudah terbiasa dengan hal ini,
jika ia lapar ia lebih memilih menahannya dan malah hanya membeli minuman saja.
Karena merasa uangnya sudah cukup untuk membeli bunga ia segera pergi ke
toko bunga yang dekat dengan stasiun kereta api. Hanya memerlukan waktu 10
menit Andi sudah sampai di toko bunga tersebut. Karena sudah kenal dengan
pemilik toko bunga dan merupakan pelanggan tetapnya. Andi segera masuk ke dalam
toko bunga tersebut dan mencari pemilik toko bunga tersebut. Kebetulan juga
kemarin pemilik toko bunga tersebut meminta Andi untuk datang hari ini karena
ada sepatu yang harus disemir.
Karyawan toko bunga tersebut pun sudah sangat mengenal Andi. Bosnya
tadi berpesan kepadanya, kalau ada Andi datang, suruh tunggu sebentar karena ia
harus mengantarkan pesanan bunga ke pembeli.
“Oh Andi ya,
bapak tadi keluar sebentar dan bapa meminta kamu untuk menunggu. Bapak tidak
lama kog ia hanya mengantarkan pesanan bunga ke pembeli yang rumahnya tidak
jauh dari sini.” Ujar seorang karyawati toko bunga tersebut yang usianya
sekitar 25 tahun ke atas.
“Oh gitu ya,
gak apa-apa kog, lagian Andi juga ada perlu sebentar sama om.”
“Ya udah, kalo
gitu andi tunggu aja. Klo mau Andi duduk aja di kursi dekat kolam ikan itu”
“Iya tante,
makasih ya.”
Andi segera berjalan ke arah kursi yang tadi dikatakan oleh karyawati itu. Andi duduk
dengan kolam ikan. Andi mengamati kolam ikan tersebut sambil melihat ke dalam
kolam tersebut. Kolam ikan tersebut cukup bening sehingga Andi dapat meliat
dengan jelas ikan apa saja yang ada dalam kolam tersebut. Ada beraneka jenis
ikan di dalamnya.
Sedang asyiknya mengamati isi kolam ikan tersebut, tanpa disadari oleh
Andi kalau pemilik toko bunga sudah datang. Karena telah diberitahu oleh
karyawannya kalau Andi sudah datang dan menunggu di dekat kolam ikan. Pemilik
toko bunga tersebut namanya Pa Teddy, ia segera menghampiri Andi
“Sudah lama ya
nunggunya, maaf ya om tadi harus ngantar pesanan bunga ke pembeli, karena dekat
jadi om sendiri aja yang berangkat untuk mengantarnya.” Ujar pemilik bunga itu
Andi terkejut medengar suara orang di belakangnya, dan ia segera
membalikkan badannya. Ia baru menyadari kalau pemilik bunga sudah datang dan
telah berada di belakangnya.
“Eh om bikin
Andi kaget saja, gak apa-apa kog om. Lagian Andi nunggunya gak lama juga.”
“Syukurlah. Ya
udah klo gitu kamu ikut om, biar kamu nyemir sepatu punya om.”
Pa Teddy segera beranjak dari kolam itu diikuti oleh Andi. Andi dibawa
ke teras rumah pa Teddy, dan segera mempersilahkan Andi duduk.
“Duduk dulu
Ndi, om mau ke dalam dulu ngambil sepatu yang harus kamu semir.”
“Iya om.” Ujar
Andi dan segera duduk di salah satu kursi teras rumah pa Teddy.
Tidak berapa lama pa Teddy datang membawa dua pasang sepatu pantofel
berwarna hitam dengan bentuk dan ukuran yang berbeda. Tidak seperti biasanya pa
Teddy menyemir sepatu sampai dua pasang.
“Tumben om
nyemir sepatunya sampai dua pasang, memangnya om mau ke mana?”Tanya Andi.
“Satunya punya
anak om, besok dia mau wisuda jadi dia minta tolong di semirkan sepatunya?”
“Oh gitu ya
om”Sahut Andi
Sebenarnya Andi tidak mengerti apa itu wisuda, tapi karena malu
bertanya dan takut dibilang banyak bertanya
jadi dia pura-pura mengerti. Andi segera mengambil sepatu yang ada di
tangan pa Teddy dan mulai menyemir sepatu tersebut satu persatu.
“Om Andi boleh
nanya gak?”
“Iya boleh
kog, Andi mau nanya apa?”Ujar pa Teddy.
Pada saat Andi ini memberitahukan kepada pa Teddy apa yang ingin
ditanyakannya, pembantu pa Teddy datang membawa nampan yang diatasnya terdapat
dua gelas air minum dan satu toples makanan ringan.
“Sambil minum
Ndi biar gak haus.”
“Aduh om
repot-repot sampai ngasih minum segala.”
“Gak apa kog
Ndi, kan sudah biasa kalau kamu di sini om kasih minum juga. Sekalian tuh
dimakan kuenya.”
“Gak usah om,
Andi minum aja ya.”
“Kenapa gak
mau, pasti kamu merasa kasian sama ibu dan adik kamu yang belum makan ya, jadi
kamu gak mau enak-enakan makan sedangkan ibu dan adik kamu gak bisa makan kue. Gak
apa-apa, kamu makan saja kue ini, nanti om suruh Bi Mirah bungkusin kue ini
buat ibu dan adikmu di rumah. Makan saja, kamu pasti dari tadi tidak makan.”
ujar pa Teddy.
pa Teddy sudah tahu seperti apa Andi, karena setiap kali ke toko bunga
tersebut ia selalu menolak jika ditawarkan makanan, ia hanya memilih untuk
meminum air yang disuguhkan. Andi juga sering menceritakan tentang keluarganya
pada saat menyemir sepatu dirumah pa Teddy.
“Gak usah om,
Andi jadinya malah ngerepotin om saja. Dikasih minum saja Andi sudah terima
kasih banyak, gak perlu repot-repot ngasih kue buat Andi.”
“Gak apa-apa
santai aja. Oh iya tadi kamu mau nanya apa?”
Andi meminum gelas minumannya, dan mengambil kue yang disediakan oleh
Bi Mirna.
“Begini om,
Andi mau nanya. Om ada jual bunga mawar putih gak?”
Pa Teddy
tersenyum “Kamu ini aneh Ndi, sudah tau om jualan bunga malah nanya lagi om ada
jual mawar apa gak. Ya jelas ada lah Ndi”.
“Klo satu
tangkai dijual gak om?Trus berapa harganya?” Tanya Andi lagi
“Iya dijual
kog, malah yang paling banyak dicari yang
satu tangkai itu. Kalau satu tangkai harganya lima belas ribu. Memangnya
buat apa kamu nanya masalah bunga. Ayo ngaku, kamu mau ngasih bunga buat pacar
ya?” Seru pa Teddy bercanda.
“Aduh om ada-ada
saja, masa Andi dikira punya pacar, Andi kan masih kecil om.” Andi menjawab
dengan polos.
“Hehe, om
cuman bercanda kog. Trus bunganya buat apa dong?”
“Andi mau
ngasih bunga buat ibu, soalnya hari ini ibu ulang tahun dan Andi mau ngasih
hadiah buat ibu. Siapa tau setelah Andi ngasih bunga itu, ibu bisa cepat sembuh”
“Oh gitu ya.
Kalau gitu om nanti om kasih bunganya, gak cuman satu, tapi tiga bunga om kasih
buat Andi” Ujar pa Teddy karena merasa iba.
”Kebanyakan
om, Andi perlunya satu saja. Lagian uang Andi gak cukup kalau harus beli tiga
bunga.”
“Siapa yang
suruh Andi beli bunga, kan tadi om bilang mau ngasih bunga bukan jual bunga,
jadi kamu gak perlu bayar.”
“Andi gak mau
om kalau dikasih. Nanti jadinya bukan Andi yang ngasih hadiah ke ibu, tapi malah
om yang ngasih hadiah ke ibu.” Ujar Andi polos
Pa Teddy
kembali tersenyum, ia salut dengan karakter anak seperti Andi. “Ya sudah kalau
gitu Andi beli satu bunga, yang dua bunganya om kasih sebagai hadiah ulang
tahun ibu kamu. Gimana, kamu setuju.”
“Ya sudah
kalau om memang maunya seperti itu, makasih banyak ya om.” Ujar Andi.
“Iya
sama-sama.”
“Sudah dulu ngobrolnya,
kamu terusin nyemir sepatunya, nanti malah gak selesai-selesai. Om masuk ke
dalam dulu mau nyuruh Bi Mirah bungkus kue buat kamu bawa pulang.”
Andi mengangguk dan tersenyum dan ie meneruskan pekerjaannya dengan
tekun dan cepat. Setelah beberapa menit akhirnya semir sepatu itu pun selesai
dikerjakan Andi. Pada saat yang sama pa Teddy keluar rumah.
“Sudah selesai
nyemir sepatunya?” Tanya pa Teddy.
“Sudah om.”
Balas Andi
“Ya sudah,
kalau gitu kamu ikut om ngambil bunga mawar yang kamu pesan tadi.”
“Eh tapi
tunggu sebentar om mau panggil Bi Mirah dulu untuk bawa kue yang saya suruh
dibungkus tadi.
“Bi Mirah, kue
yang saya suruh bungkus tadi sudah selesai kamu bungkus apa belum?” Panggil pa
Teddy dengan suara agak keras.
Bi Mirah keluar dari dalam rumah sambil membawa bungkusan bewarna putih.
“Sudah saya
bungkus tuan, ini tuan kuenya.” Jawab Bi Mirah dan segera menyerahkan bungkusan
tersebut pada pa Teddy dan langsung masuk ke dalam rumah lagi.
“ini Ndi kue
ibu dan adikmu.” Ujar pa Teddy menyerahkan bungkusan kue tersebut.
Andi menerima
bungkusan tersebut “Makasih ya om.”
Pa Teddy tersenyum
“Iya sama-sama.”
“Ayo kita ke
depan ngambil bunganya!”
“Iya om.”
Pa Teddy jalan lebih dulu dan Andi mengikutinya dari
belakang. Mereka menghampiri karyawati yang tadi berbicara dengan Andi, yang memintanya
menunggu pada saat pa Teddy keluar tadi.
“Sus,
tolong ambil tiga tangkai bungai mawar putih dan susun dalam satu ikatan trus
kamu kasih ke Andi” Suruh pa Teddy kepada karyawatinya yang ternyata bernama
Susan.
“Baik
pa.”
Susan segera mengambil tiga tangkai bunga mawar dan
mengabungkannya dalam satu ikatan. Bunga mawar putih dari bagian bawah sampai tengah
ditutup dengan kertas tipis putih, dan setelah itu ditutup dengan kertas
transparan sehingga menjadi susunan bunga yang cantik. Setelah selesai ia
segera memberikannya pada Andi.
“Ini
dik bunganya.” Ujar Susan.
“Wah
bagus sekali bunganya. Makasih ya tante.”
Susan
tersenyum “Iya sama-sama.”
“Makasih
ya om. Ini uangnya” Ucap Andi dan memberikan uang sebanyak lima belas ribu
rupiah
“Loh
kog lima belas ribu?”
“Kan
tadi om bilang Andi bayarnya lima belas ribu saja?”
“Bukannya
kurang Andi malah lebih lagi, kan tadi kamu udah nyemir dua pasang sepatu om,
dan om belum membayar upah buat kamu jadi kamu bayarnya cukup lima ribu saja”
Pa Teddy menjelaskan.
“Oh
iya ya om Andi lupa.” Ia segera mengambil uang sepuluh ribunya dan memberikan
lima ribu kepada pa Teddy.
“Nah ini baru benar.”
Melihat
hal itu Susan tak dapat menahan senyumnya lagi.
"Om
Andi pamit dulu ya, soalnya Andi mau ke stasiun lagi mau kerja dan mau beli
makanan buat ibu dan adik Andi lagi.” Ujar Andi.
“Iya
hati-hati ya. Salam buat ibu dan Adik kamu. Tolong sampaikan juga selamat ulang
tahun buat ibu kamu dan semoga cepat sembuh.”
“Iya
om pasti. Sekali lagi makasih ya om,
makasih ya tante.”
Pa Teddy dan Susan mengangguk. Andi pun beranjak pergi
dari toko bunga tersebut menuju ke arah stasiun kereta api.
Hari sudah menunjukkan pukul dua siang, Andi memutuskan
tidak lagi mencari uang hari ini. Ia segera mendatangi warung tempat biasa ia
membeli makanan untuk ibunya. Warung makan tersebut letaknya agak jauh dari stasiun
kereta api, tapi letaknya berada di jalur kereta api. Sebenarnya ada banyak
warung makan di dekat stasiun kereta api, namun harganya cukup mahal, sedangkan
warung yang sudah sering ia kunjungi tersebut harganya cukup murah, satu
bungkus nasi putih dan ikan harganya hanya lima ribu rupiah. Dua puluh sembilan
ribu ditangannya cukup untuk membeli tiga bungkus nasi, dan Andi masih bisa
menyisihkan uangnya untuk ditabung dan membeli obat untuk ibunya.
Pada saat melewati pinggir rel kereta api tersebut pada awalnya masih
banyak orang, tapi pada saat berada di dekat gerbong kereta api yang sudah
tidak terpakai keadaannya sepi, hanya beberapa orang yang lewat lalu lalang.
Andi sudah biasa melewati jalur tersebut jadi ia sudah tidak merasa takut. Pada
saat berjalan di jalur tersebut, di kejauuhan Andi melihat dua orang preman
yang dulu pernah memalaknya berada di samping gerbong kereta, Andi takut dan
berusaha untuk kembali ke arah stasiun kereta api, namun ia berpikir jika ia
kembali maka ia tidak akan dapat membeli makanan untuk ibu adiknya. Ia tidak
punya cukup uang untuk membeli makanan di dekat stasiun. Andi pun memutuskan
untuk melanjutkan jalannya, namun sebelumnya ia ingin menyembunyikan uangnya ke
dalam semir sepatu yang ia bawa. Kebetulan hari ini ia membawa dua semir
sepatu, dan yang satunya tersebut sudah kosong. Andi segera pergi masuk ke
dalam gerbong kereta api, ia segera membuka kotaknya dan mengambil semir sepatu
yang kosong tersebut serta merobek sedikit kain yang ia gunakan untuk mengelap
sepatu. Ia segera membuka tutup botol semir tersebut dan menaruh kain yang sudah
dirobeknya sebagai alas agar uangnya tidak kotor terkena semir yang masih
tersisa. Setelah selesai, Andi segera keluar dan berjalan ke arah dua preman
tersebut, Andi berjalan dengan tenang seolah tidak terjadi apa-apa.
Betul seperti yang diduga oleh Andi, salah satu preman yang tubuhnya
tinggi besar dan gempal dengan kulit berwarna hitam serta banyak tatto yang
mehiasi tubuhnya berteriak memanggil Andi.
“Hei bocah ke
sini kau.”
Andi berhenti, tapi ia diam saja tidak mau menghampiri preman itu.
“Kau tuli
ya,sampai kau tidak mendengar apa yang ku bilang? Atau kau pura-pura tidak
mendengar” Teriak preman itu sekali lagi.
Andi tetap diam saja dan malah menundukkan kepala. Keringat dingin
mulai bermunculan di tubuh Andi. Karena melihat kelakukan Andi yang seperti
itu, preman itu menjadi kesal dan menyuruh anak buahnya membawa Andi padanya.
“Cok, bawa dia
ke sini, seenaknya saja dia tidak mau menuruti perkataanku. ” Perintah preman
itu pada anak buahnya.
“Baik bos” ia
segera berjalan menghampiri Andi. Perawakan preman satu ini berbeda dengan
bosnya, tubuhnya kurus dan kulitnya pun hitam tapi tidak sehitam kulit bosnya
serta hanya ada satu tatto dilengannya kirinya bermotif kupu-kupu. Tingginya
pun lebih tinggi dari bosnya. Tanpa banyak bicara ia segera meraih tangan Andi
dan menariknya kepada bosnya, ia tidak peduli Andi yang meringgis kesakitan
karena tangannya ditarik dengan sangat kuat oleh preman itu. Andi di dorong ke
tanah, seperti posisi orang sedang berlutut.
“Kau sudah
berani ya sama aku? Dipanggil malah tak mau mendengar, mau kubunuh ya kau?’
Andi hanya diam saja dan berbicara sedikit pun.
“Eh, ditanya
malah diam aja, lo bisu ya.” Bentak anak buah preman itu.
“Ampun om,
Andi gak berani ngomong takut nanti salah.” Sungut Andi terbata-bata.
“Iya, tapi
kalau orang nanya harus dijawab.” Sahut Bos Preman dengan teriakan.
“Ampun om.” Andi
kembali memohon.
“Mana setoran
buat aku?” Bentak bos preman tanpa memperdulikan perkataan Andi.
“Maaf om Andi
hari ini belum dapat uang, Andi baru saja berangkat dari rumah, soalnya Andi
harus ngurus ibu Andi yang sakit.” Ujar Andi berbohong karena ia tidak ingin
uang yang ia punya diambil preman-preman itu.
“Alah, bohong
kau, mana mungkin belum dapat uang ” Bentak preman itu.
“Beneran om
Andi gak bohong.”
“Bah, aku tak
percaya sama kau. Periksa kantong
celananya.” Perintah preman itu pada anak buahnya.
“Baik bos.”
Ia segera menarik tangan Andi dengan paksa dan mulai merogoh isi
kantong Andi, karena tidak menemukan apa-apa dikantong celana Andi ia lalu
memberitahukan hal itu pada bosnya.
“Beneran gak
ada bos.”
“Ah, tak
percaya aku, coba kau periksa betul-betul siapa tau terselip!” Seru preman itu.
Anak buah preman itu kembali memeriksa kantong Andi, dan ia tetap tidak
menemukan apa-apa.
“Gak ada bos.”
“Coba kau buka
bajunya dan celananya, jangan-jangan ditaruhnya di dalam baju dan celana itu!”
Bos preman tersebut kembali memberikan perintah.
Mendengar perintah itu ia segera melaksanakannya.
“Jangan om
Andi beneran gak punya uang.” Seru Andi sambil berusaha menahan tangan preman
jangkung tersebut, ia tidak ingin pakaiannya di buka, karena ia malu tidak
menggunakan pakaian di tempat umum.
“Alah, jangan
banyak omong lo.” Tanpa mempedulikan Andi ia segera membuka satu persatu baju
Andi hingga menyisakan celana dalam saja.
Setelah mencari dengan teliti dan juga mengibas-ngibaskan pakaian
tersebut tetap saja ia tidak menemukan uang.
“Gak
ada bos.” Kembali preman itu memberitahukan pada bosnya.
Bos
preman itu lalu menatap tajam ke arah Andi “Dimana kau taruh uang kau, jangan
coba-coba bohongi aku ya.” Bentaknya pada Andi.
”Andi
gak bohong, Andi belum dapat uang hari ini.”
“Ah,
tak percaya aku.” Sahut preman itu.
“Sini
kotak kau itu.” Seru preman itu lagi dan dengan kasar menarik kotak semir milik
Andi.
“Jangan
om, disini juga gak ada om.” Andi memeluk kotak itu dengan erat karena ia tidak
ingin kotak itu jatuh ke tangan preman itu.
“Serahkan
kotak itu atau kau mau mati!” Bentak preman itu sambil mengarahkan belati yang
ia ambil dari balik jaketnya.
Melihat hal itu Andi ketakutan, keringat dingin
mengalir deras dari pori-pori tubuhnya. Namun, ia diam saja dan tetap memeluk
kotak itu.
“Cepat
serahkan kotak itu.” Berteriak dengan suara yang keras dan mendekatkan belati
itu ke arah Andi.
Andi sudah tak dapat berbuat apa-apa lagi, ia pun
dengan pasrah memberikan kotak itu kepada bos preman tersebut. Bos preman
tersebut segera menarik kotak itu dan membuka isinya. Ia terkejut karena ada
sesuatu dalam kotak itu. Ternyata Andi menyembunyikan bunga mawar putih dan
bungkusan kue ke dalam kotak itu. Preman itu lalu mengambil bunga dan bungkusan kue itu dan menatap ke arah
Andi.
“Kau
bilang kau tak punya uang, kenapa ada bunga dan kue ini dalam kotak semirmu.” Ujar
bos preman.
Andi hanya diam, karena ia takut ia salah bicara
dan nanti preman itu tahu kalau Andi
menyembunyikan uang dalam kaleng semir sepatunya.
“Kau
benar-benar ingin membohongi aku ya.”
Preman
itu lalu mengambil bunga itu dan bertanya pada Andi. “Bunga dan kue ini punya
siapa ?”.
Andi hanya diam. “Ayo jawab ini punya siapa?” Bos
preman itu tetap menanyakan hal yang sama pada Andi
“Itu
punya Andi om.”
“Bagaimana
kau bisa beli bunga dan kue ini, kan kau bilang tadi kau belum punya uang.”
“Itu
dikasih om pemilik bunga pelanggan Andi om buat ibu Andi, soalnya ibu Andi lagi
sakit, dan om itu ngasih bunga biar ibu Andi cepat sembuh.”
“Yang benar kau, mana mungkin ada orang yang mau ngasih kau
bunga dan kue?” Bos preman itu benar-benar tidak percaya.
“Beneran om Andi gak bohong.” Ujar
Andi.
“Awas ya kalau kau bohong.” Sahut
bos preman itu dan menyerahkan bunga dan bungkusan kue pada anak buahnya. Anak
buah preman itu dengan cepat mengambilnya, dan memakan kue yang ada dalam
bungkusan tersebut.
Karena masih penasaran bos preman itu kembali membongkar isi kotak Andi
dan ia mengeluarkan isi kotak itu. Bos preman itu mengambil salah satu dari
kaleng semir milik Andi dan ingin membuka. Melihat hal itu wajah Andi menjadi
pucat, ia hanya diam mematung dan tak berani melakukan apa-apa karena ia takut
preman itu kembali mengarahkan belati padanya. Preman itupun membuka isi kaleng
tersebut, dan ternyata isinya hanya semir sepatu lalu membuangnya ke tanah, melihat
hal itu Andi lega. Namun, preman itu tidak berhenti di situ saja, ia kembali
mencari sesuatu dalam kotak semir sepatu, ia kembali menemukan kaleng semir
sepatu yang lainnya lalu mengambilnya. Andi tau itu adalah kaleng semir sepatu
yang berisi uang miliknya. Andi bingung harus berbuat apa, jika ia merebut
kaleng itu maka bos preman itu tahu kalau ada sesuatu di dalamnya, Andi
berusaha berdoa dalam hati berharap bos preman itu tidak jadi membuka isinya.
Namun harapan Andi sia-sia bos preman itu telah membuka kaleng tersebut dan
menemukan uang di dalamnya.
“Dasar anak
sialan kau, kau bilang kau tak punya uang tapi buktinya ada uang di sini, kau
ingin membodohiku ya.” Dengan tatapan tak bersahabat dan tangannya berniat
mencekik leher Andi.
“Ampun om,
Andi gak bermaksud membodohi om, Andi perlu sekali uang itu, Andi harus membeli
obat untuk ibu Andi yang sakit om.” Ujar Andi dengan terbata-bata karena tanpa
disadari air matanya mengalir karena ketakutan.
“Alah, kau
masih saja ingin menipuku. Untung saja kau masih kecil, coba kau kau besar
sudah kubunuh kau.” Bentak bos preman itu.
“Ampun om,
jangan bunuh Andi. Kasian ibu dan adik Andi nanti kalau Andi dibunuh.” Ujar
Andi memelas.
“Sudah pergi
sana kau sebelum aku berubah pikiran dan malah akan membunuhmu.” Bentak bos
preman itu.
“Andi gak mau
pergi om, Andi mau om balikin uang Andi.”
Seru Andi.
“Bah, masih
mau melawan kau ya, masih mending kau kubiarkan hidup malah mau minta aku
balikin uang kau lagi. Cepat pergi sana kau.”Bentak bos preman itu sekali lagi.
Tanpa mempedulikan bentakan bos preman itu Andi tetap berusaha memohon
agar uangnya dikembalikan.
“Om tolong om,
Andi perlu uang itu.” Pinta Andi sambil berusaha mengambil uang yang sedang
dipegang bos preman itu.
Melihat hal itu, bos preman itu semakin kesal dan mendorong tubuh Andi
ke tanah. Bukan hanya itu ia pun mengambil bunga dari tangan anak buahnya dan
melemparkanya ke tanah lalu tanpa ampun menginjak-injak bunga itu di hadapan
Andi. Andi hanya bisa melihat dan menangis saja tanpa bisa berbuat apa-apa.
Setelah puas dengan apa yang sudah ia lakukan, bos preman itu lalu pergi
diikuti anak buahnya tanpa mempedulikan Andi yang masih menangis dan tersungkur
di tanah.
Ingin rasanya Andi kembali merebut uang itu tapi ia tak bisa
melakukannya karena ia sadar dengan tubuhnya yang kecil itu sangat sulit
melawan preman yang bertubuh besar. Andi bangkit dan menyadari bahwa tak ada
gunanya ia menangis terus, karena menangis takkan dapat menyelesaikan masalah.
Andi lalu mengambil pakaian yang tadi dilepas anak buah preman dari tubuhnya.
Andi meringis kesakitan pada saat Andi ingin memakai bajunya, akhirnya ia sadar
teryata tangannya lecet dan berdarah karena terjatuh pada saat didorong bos
preman tadi. Andi lalu membersihkan bekas debu dan tanah yang menempel ditubuhnya.
Andi lalu memungut barang-barang miliknya yang berserakan ditanah dan
memasukkannya lagi dalam kotak semir sepatunya. Andi juga memungut bunga mawar
putih yang tadi diinjak bos preman dan memandangnya sejenak, tanpa disadari air
matanya kembali jatuh, namun ia segera tersadar dan menghapus air mata itu dari
pipinya. Meskipun bentuk bunga itu sudah tidak karuan Andi tetap menaruhnya ke
dalam kotak semir sepatu, Andi lalu segera pergi ke arah stasiun kereta api, ia
tidak jadi membeli makanan untuk ibu dan adiknya karena semua uangnya telah
diambil preman-preman tadi.
Di stasiun Andi bingung harus berbuat apa, jam sudah menunjukkan pukul
tiga siang, jika ia kembali menyemir sepatu kemungkinan ia hanya akan mendapat
uang sepuluh ribu saja, dan itu hanya cukup untuk membeli makanan buat ibu dan
adiknya, padahal ia ingin sekali membelikan bunga untuk ibunya. Sempat terpikir
oleh Andi untuk memberitahukan masalahnya kepada pemilik bunga, namun urung
dilakukannya, karena ia tidak ingin merepotkan orang lain.
Andi lalu melihat ke sekelilingnya berusaha mencari orang yang mau
sepatunya disemir. Ia melihat seorang perempuan yang usianya kira-kira 20
tahunan duduk sendirian di kursi tunggu,
perempuan itu mengenakan kemeja berwarna biru dengan rok hitam dan sepatu
highels warna hitam serta tas kulit berwarna hitam disampingnya, sepertinya ia
baru saja pulang kerja. Andi segera menghampiri perempuan itu. Melihat
kedatangan Andi perempuan itu tersenyum.
“Maaf tante
kalau Andi mengganggu, Andi cuman pengen nyemir sepatu itupun kalau tante mau.”
Perempuan itu tersenyum melihat keluguan Andi. “Gak apa-apa kog, lagian
aku juga lagi santai. Oh iya, jangan panggil aku tante dong, aku kan masih
muda, lagian aku juga belum nikah. Panggil aku kakak aja ya.” Balas perempuan
itu.
“Iya tante, eh
,maaf iya kak.”Ujar Andi.
“Oh iya, nama
kamu siapa, kalau kakak namanya Ratih.” Tanya perempuan itu.
“Aku Andi kak,
gimana kak? Kakak mau gak sepatunya Andi semir.” Ujar Andi balik bertanya.
“Oh iya hampir
lupa kakak, iya deh boleh kebetulan sepatu kakak udah lama gak disemir.” Ucap
Ratih lalu menyodorkan kakinya kepada Andi.
Andi segera duduk di depan Ratih, mengambil alat-alat untuk menyemir
dan mulai melakukan pekerjaannya. Beberapa menit Andi dan Ratih hanya diam.
Ratih sibuk dengan handphone yang ada di tangannya untuk mengirimkan SMS pada
temannya, sedangkan Andi nampak sibuk dengan pekerjaanya. Merasa suasana
terlalu sepi Andi lalu membuka pembicaraan.
“Kakak di sini
mau nunggu siapa?” Tanya Andi.
Mendengar
pertanyaan dari Andi, Ratih lalu menghentikan kegiatannya mengetik Handphonenya
“Hah...., apa?” Ratih balik bertanya karena ia tidak terlalu mendengar apa yang
ditanyakan Andi karena terlalu serius dengan handphonenya.
“Kakak di sini
mau nunggu siapa.”Andi kembali mengulang pertanyaannya.
“Oh, gak kog
kakak gak nunggu siapa-siapa. Kakak senang aja duduk di sini, soalnya dulu
rumah kakak dekat stasiun ini. Dulu waktu kakak seusia kamu, kakak sering main
disini sama teman-teman kakak kalau sudah sore dan suasana masih sepi tidak
seramai sekarang. Jadi, kakak pengen mengenang
masa kecil kakak.”
Oh, terus
kenapa kakak duduk sendirian di sini, teman-teman kakak mana, kog gak sama
kakak ke sini?”Andi kembali bertanya.
“Teman-teman
kakak pada sibuk semua, mereka juga udah pada gak ada di sini, mereka semua kerja ke luar kota
bahkan ada yang yang kerja di luar negeri.”
“Oh gitu ya ka.”
Ujar Andi sambil mengangguk.
Mereka berdua terlibat obrolan yang seru, dan tanpa sengaja Ratih
melihat ada luka lecet dan darah yang masih basah siku tangan Andi. Ia lalu
menunduk dan mengangkat tangan Andi.
“Kamu kenapa
kog tangannya bisa berdarah seperti ini, kamu habis diserempet orang ya?” Tanya
Ratih.
“Gak kog ka,
Andi gak diserempet”Jawab Andi.
“Trus kenapa
kamu bisa luka begini?”.
Awalnya Andi tidak ingin memberitahukan kenapa tangannya bisa luka
seperti itu, namun ia yakin pasti Ratih akan menerus menanyakan hal itu.
“Andi tadi
didorong sama preman.” Ujar Andi pelan.
“Kog bisa, kamu
dipalak ya sama preman itu?” Tanya Ratih lagi
Andi
mengangguk.
“Sudah kamu
duduk sini dulu nanti aja nyemirnya, kakak pengen tau kenapa kamu sampai
dipalak sama preman itu”Ujar Ratih sambil menarik tangan Andi untuk menyuruh
Andi duduk di sampingnya dan Ratih mengambil tisu dari dalam tasnya untuk
mengelap darah yang masih menetes ditangannya.
Andi lalu menceritakan kejadian tersebut pada Ratih “Tadikan Andi mau
beli makanan buat ibu dan adik Andi, tapi pada saat Andi jalan di pinggir rel
kereta api Andi liat ada dua preman lagi duduk dekat gerbong kereta api yang
udah gak kepakai, melihat hal itu Andi lalu bersembunyi di dalam gerbong
lainnya buat menyembunyikan uang Andi. Terus Andi sembunyiin uang Andi dalam
kaleng semir yang sudah kosong.”
“Kog kamu gak kabur
aja tadi, kan mereka belum liat kamu?” Tanya Ratih memotong cerita Andi.
“Soalnya,
kalau Andi kabur, Andi gak bakalan bisa beli makanan buat ibu dan adik Andi,
kasian mereka kalau Andi gak beli makanan buat mereka.”
“Tapikan kamu
bisa beli makanan di dekat sini.”
“Kalau Andi
beli makanan disini, uang Andi pasti habis, Andi gak bisa nabung dan beli obat
buat ibu Andi” Jawab Andi.
“Ibu kamu
sakit apa?” Terus bertanya sampai lupa kalau Andi belum selesai menceritakan
kejadiannya tadi
“Gak tau kak,
soalnya Andi gak punya uang buat bawa
ibu ke dokter.”
“Oh, terus
gimana tadi ceritanya sampai uang kamu bisa diambil preman itu?”
“Gini kak,
tadikan setelah Andi taruh uang di dalam kaleng Andi lalu berniat pergi ke
warung makan itu, nah pas hampir lewat preman-preman itu Andi dipanggil sama
bos preman, tapi Andi diam saja dan pura-pura gak dengar. Terus bos preman itu
nyuruh anak buahnya narik paksa Andi. Andi dibawa ke bosnya, preman itu pengen
minta uang sama Andi tapi Andi bilang gak ada. Bos preman itu nyuruh anak
buahnya buat meriksa isi kantong celana Andi sampai pakaian Andi dilepas semua
buat nyari uang itu tapi gak ketemu juga. Bos preman itu masih penasaran karena
gak dapat uang sama sekali, trus dia mau ngambil kotak semir Andi, awalnya Andi
cegah tapi bos preman itu malah mengeluarkan belati dari jaketnya dan
menodongkan belati itu ke Andi, karena Andi takut terpaksa Andi kasih kotak
semir Andi. Pada saat bos preman itu buka kotak semir Andi, dia kaget karena
ada bunga mawar putih dan bungkusan kue di kotak semir Andi, terus dia nanya
bunga dan bungkusan kue itu punya siapa.”
“Kamu ada
naruh bunga sama kue juga ya dalam kotak semirmu.” Tanya Ratih memotong cerita
Andi lagi.
“Iya ka,
soalnya Andi takut diambil juga sama preman-preman itu.”
“Memangnya
bunga sama kue itu buat apa?” Tanya Ratih lagi.
“Bunga itu
Andi beli buat ibu Andi yang lagi sakit, kebetulan hari ini ibu ulang tahun
jadi Andi pengen ngasih bunga buat ibu, siapa tahu kalau Andi kasih bunga ibu
bisa cepat sembuh. Terus, kalau kuenya dikasih pemilik toko bunga buat ibu dan
adik Andi.” Andi menjelaskan.
“Oh gitu ya,
trus gimana lagi kelanjutan ceritamu tadi?”Tanya Ratih
“Trus bos
preman itu nanya sama Andi, bunga sama bungkusan kue itu punya siapa, Andi
bilang aja sama bos preman itu kalau bunga sama bungkusan kue itu dikasih
pemilik bunga buat ibu Andi yang lagi sakit dan bos preman itu percaya. Bunga
dan bungkusan kue itu dikasihkannya sama anak buahnya. Langsung saja bunga dan
bungkusan kue itu diambil anak buah preman itu dan langsung makan kue yang ada dalam
bungkusan. Bos preman itu terus membongkar isi kotak semir Andi lagi, dia
nemuin kaleng semir, waktu dia buka ternyata kaleng semir yang masih baru.
Terus dia cari lagi di dalam kotak semir Andi hampir semua barang yang ada di
kotak semir Andi dibuangnya ke tanah, akhirnya bos preman itu nemuin kaleng
semir yang isinya uang yang tadi Andi simpan. Andi gak berani berbuat apa-apa
karena Andi takut bos preman itu nodongin belati lagi ke Andi. Bos preman itu
lalu buka kaleng semir itu dan dia lihat ada uang di dalamnya, dia marah sama
Andi dan mau bunuh Andi karena sudah bohongi dia, tapi Andi bilang kalau Andi
perlu sekali uang itu tapi dia gak peduli. Andi memohon sampai nangis sama bos
preman itu buat ngembaliin uang Andi, tapi dia gak peduli malah dia dorong Andi
sampai Andi jatuh ke tanah makanya tangan Andi luka, bukannya cuma itu dia juga
ngambil bunga dari tangan anak buahnya terus dia buang di depan Andi, dia injak-injak
bunga mawar itu dan pergi begitu saja meninggalkan Andi.” Cerita Andi.
Andi lalu ia membuka kotak semir, mengambil bunga mawar putih yang
bentuknya sudah tidak karuan dan memperlihatkannya pada Ratih. Melihat bentuk
bunga itu tanpa sadar Ratih menangis, dan ia merasa kasian sekali dengan Andi.
Ratih menghapus air matanya dan kembali menanyakan sesuatu pada Andi
“Terus kamu ngapain setelah mereka pergi?”Tanya Ratih.
Awalnya Andi
binggung harus berbuat apa, Andi gak mungkin bisa ngumpulin uang sebanyak yang
sudah diambil preman itu tapi Andi berpikir kalau Andi nangis terus gak bakalan
bisa nyelesain masalah, yang ada Andi malah gak dapat apa-apa. Makanya Andi
bangun terus ngeberesin barang-barang Andi, waktu Andi ngambil bunga ini Andi
tanpa sadar nangis lagi, tapi langsung Andi hapus terus Andi pergi dari gerbong
tua itu menuju ke stasiun ini dan akhirnya ketemu sama kakak.” Ujar Andi
mengakhiri ceritanya.
“Kasian banget
kamu ya. Oh iya tadi uang yang diambil sama preman itu berapa?” Tanya Ratih
“ Tiga puluh
empat ribu kak, kalau bagi kakak mungkin uang itu sedikit, tapi bagi Andi uang
itu berarti sekali buat beli makanan, beli obat dan ditabung.” Jawab Andi.
Ratih kembali
tak dapat menahan air mata yang menetes dari matanya. Ia merasa sangat lemah
dibandingkan Andi. Terkadang ia menganggap uang lima puluh ribu saja sangat
tidak ada guna dan dengan mudah ia menghabiskannya. Setelah ia melihat dan
mendengar cerita Andi ia akhirnya sadar uang sekecil apapun ada nilainya, jika
tak berarti baginya namun masih sangat berarti bagi orang yang tak punya
apa-apa.
Melihat Ratih yang menangis dihadapannya, Andi binggung dan menanyakan
hal itu pada Ratih “Kog kakak nangis? padahal yang mengalami masalah kan andi
tapi kenapa malah kakak yang nangis, Andi jadi gak enak karena sudah bikin
kakak nangis.”
Mendengar pertanyaan dari Andi bukannya berhenti menangis Ratih malah
menangis semakin banyak. Ia berpikiran bahwa orang yang mengalami masalah saja
mampu menahan air matanya dan malah tidak ingin membuat orang lain menangisi
masalahnya. Ia mendapat pelajaran yang sangat berharga dari seorang anak kecil
yang usianya baru sembilan tahun.
“Sudah kak
jangan nangis, nanti Andi malah ikutan nangis, kalau kita sama-sama nangis gak
ada yang menghibur dan menghapus air mata kita berdua.” Ujar Andi.
Akhirnya Ratih berhenti menangis dan mengambil tisu dari dalam tasnya
“Kakak salut sama kamu, kamu masih bisa kuat meskipun masalah datang diusia kamu
yang masih kecil seperti ini.” Kata Ratih.
“Andi sudah
biasanya dengan hal seperti ini kak, lagian masalah gak mengenal usia kak,
siapapun pasti akan mengalami masalah tapi tergantung orang itu apakah ia akan
menghadapi masalah itu atau malah menghindarinya.”
Mendengar penjelasan dari Andi kembali lagi Ratih tertegun, ia
menyadari ia adalah orang yang selalu berusaha menghindari masalahnya dan
bukannya selesai yang ada masalah itu datang lagi dan malah semakin besar
masalah itu.
“Terus
sekarang gimana, kamu yakin gak kamu bisa ngumpulin uang buat beli makanan buat
ibu dan adikmu?” Tanya Ratih.
“Sebenarnya
Andi gak terlalu yakin, tapi Andi tau kalau Andi percaya pasti Andi bisa beli
makanan buat ibu dan adik Andi.”Jawab Andi.
Mendengar
jawaban Andi Ratih tersenyum dan berkata “Ya sudah begini saja kamu terusin
dulu nyemir sepatunya, nanti kakak bantu kamu menyelesaikan masalah kamu.” Ujar
Ratih.
“Oh iya ka
Andi sampai lupa kalau tadi belum selesai nyemirnya.” Seru Andi dan segera
bangun dari tempat duduknya dan kembali melakukan pekerjaannya.
Ratih tahu apa yang harus ia lakukan, maka ia pun memberitahukan
niatnya pada Andi “Kamu mau gak kalau kakak kasih uang buat beli makanan, beli
bunga, beli obat dan sisanya buat kamu
tabung?” Tanya Ratih sambil tersenyum.
“Gak usah kak, Andi gak mau merepotkan kakak, kakak kan baru kenal sama
Andi nanti kakak pikir Andi cuman menipu kakak.”
“Gak apa-apa kog kakak ikhlas bantu Andi, kakak percaya kog Andi gak
bakalan bohongi kakak. Jadi, Andi maukan nerima uang dari kakak, anggap aja
bonus dari kakak karena kamu sudah nyemir sepatu kakak”Ujar Ratih menjelaskan
“Andi gak mau kak kaya gitu. Kata ibu Andi, Andi gak boleh ngambil uang
yang bukan hasil jerih payah Andi, kalau Andi ambil sama aja kaya pengemis yang
minta-minta tanpa memberikan apa-apa pada orang lain. Tadi pagi juga ada om
yang mau ngasih uang lima puluh ribu ke Andi tapi Andi tolak”
Ratih benar-benar salut dengan keteguhan hati Andi. Ratih berpikir
sejenak dan akhirnya ia mendapatkan ide “Begini
saja, kakak pinjamkan kamu uang, nanti kalau kamu sudah punya uang cukup
Andi boleh mengembalikannya sama kakak. Gimana kamu setuju?” Ujar Ratih,
sebenarnya ia tak mengharapkan Andi mengembalikan uangnya karena ia benar-benar
ikhlas ingin menolong.
“Tapi kak Andi
gak tau rumah kakak, dan mungkin Andi gak bisa ketemu kakak lagi.”
“Tenang kalau
kakak gak sibuk kakak pasti ke stasiun ini lagi, kalau kamu gak percaya biar
kakak kasih kartu nama kakak, disitu ada no telpon kakak jadi kamu bisa
menghubungi kakak kalau kamu mau bayar hutang sama kakak.” Ratih menjelaskan
pada Andi.
Andi berpikir sejenak, ia menyadari bahwa ia sangat memerlukan uang itu
dan bantuan yang disampaikan Ratih sangat ia butuhkan. Ia ingat kalau
tetangganya ada memiliki handphone, jadi kalau ia ingin membayar hutangnya ia
dapat meminjam handphone tersebut untuk menelpon Ratih.
“Gimana kamu
setuju gak dengan saran kakak?” Tanya Ratih.
Andi diam saja
karena terlarut dengan lamunannya. “Gimana kamu setuju tidak?” Tanya Ratih lagi.
Andi tersadar
dari lamunannya “Eh maaf kak Andi tadi gak sadar ngelamun, Andi setuju dengan
saran kakak, Andi punya tetangga yang ada HP. Jadi kalau Andi mau bayar hutang,
Andi bisa pinjam HPnya buat nelpon kakak. Andi janji bakalan cepat ngembaliin
uang kakak.” Jawab Andi sambil menguraikan senyum pada Ratih.
Ratih tidak berkata apa-apa ia hanya membalas senyuman Andi. Andi
segera melanjutkan menyemir sepatu yang tadi tertunda lagi karena asyik
mengobrol dengan Ratih. Kali ini Andi menyemir sepatu dengan sangat bersemangat
dan sesekali bernyanyi. Ratih kembali tersenyum melihat tingkah laku Andi.
Tidak berapa lama Andi pun selesai menyemir sepatu Ratih. Ia segera
merapikan alat semirnya dan menaruhnya ke dalam kotaknya. Ia pun bangkit dan
duduk di sebelah Ratih.
“Sudah selesai
kak nyemir sepatunya”Seru Andi membuyarkan Ratih yang dari tadi nampak sibuk
dengan handphonenya.
“Oh, sudah
selesai ya. Maaf ya tadi kakak asyik main HP jadi sampai lupa sama kamu.” Sahut
Ratih
“Gak apa-apa
kog ka.”
“Ya udah, klo
gitu kita nyari makan buat kamu, kan kata kamu tadi kamu mau beli makanan buat
ibu sama adik kamu.” Seru Ratih.
“Ayo ka, nanti
keburu senja takutnya warungnya tutup.” Andi mengiyakan ajakan Ratih.
Ratih melihat
ke arah jam yang ada di tangan kirinya . Tak terasa ternyata waktu sudah
menunjukkan pukul empat sore, tanpa mereka sadari waktu berlalu begitu saja.
“Ya udah, ayo.”
Seru Andi lagi dan segera memasukkan Handphonenya ke dalam tas.
Mereka berdua lalu pergi ke warung yang letaknya di depan stasiun
kereta api. Untung saja warung yang mereka datangi itu masih buka, kerena
biasanya warung itu tutup pukul setengah empat sore. Setelah sampai di warung
tersebut Ratih segera memesan makanan.
“Bu, tolong
dibungkusin nasi putih, ayam goreng, oseng sayur, tempe dan tahu goreng, sama
minumnya es teh. Semuanya dibikin tiga bungkus ya bu!”Ujar Ratih pada pemilik
warung.
“Iya neng,
trus yang buat makan di sini apa neng?” Tanya pemilik warung tersebut.
“Gak usah bu
saya sudah makan kog tadi di kantor.”
“Kamu mau
makan disini gak Ndi?”Tanya Ratih pada Andi.
“Gak usah ka,
kan tadi sudah dipesan kaka tiga bungkus buat Andi, ibu dan adik Andi." Ujar
Andi.
“Gak apa-apa, kalau
kamu makan di sini biar kakak pesenin, kalau yang dibungkus buat kamu makan
lagi nanti malam.”
“Gak ah ka,
Andi gak mau ngerepotin kaka, lagian yang dipesan kaka tadi juga udah banyak
banget.” Balas Andi
Mendengar hal itu Ratih tidak lagi memaksakan keinnginannya pada Andi.
Ia tahu kalau Andi punya pendirian yang cukup kuat, jika tidak maka ia akan
berkata tidak tanpa banyak alasan.
“Ini neng
sudah selesai pesanannya.” Ujar pemilik warung.
“Oh, sudah ya
bu, berapa semuanya?’ Tanya Ratih.
“Semuanya jadi
dua puluh empat ribu neng?”
“Sebentar ya
bi.” Ratih mengambil dompet dalam tasnya dan mengambil uang lima puluh ribu
lalu menyerahkan uang itu pada penjaga warung. “ini bu uangnya.”
Pemilik warung
itu mengambil uang yang diberikan Ratih dan membuka laci mejanya dan
menyerahkan kambaliannya pada Ratih. “Ini neng kembaliannya.”
Ratih pun
mengambil kembalian uangnya “Makasih ya bu.”
“iya neng sama.”
Balas penjaga warung sambil tersenyum.
“Ayo Ndi
sekarang kita ke toko bunga untuk beli bunga buat ibu kamu.” Ujar Ratih pada
Andi.
“Iya ka.” Balas
Andi.
“Karena
harinya udah terlalu sore mending kita naik mobil kakak aja biar gak kelamaan
ke toko bunganya.”
“Terserah kaka
saja, tapi apa gak apa-apa Andi ikut naik mobil kaka?” Tanya Andi.
“Ah kamu ini
ada-ada aja, masa kakak marah kamu naik mobil kakak, gak apa-apa kog biasa aja.”
Ujar Ratih dengan sedikit tersenyum.
“Makasih ya ka.”
Seru Andi.
Ratih tidak menjawab seruan Andi, tapi ia hanya tersenyum saja. Mereka
pun bergegas pergi ke arah parkir stasiun kereta api. Letak parkir tidak
terlalu jauh dengan warung makan yang tadi mereka datangi. Ratih berjalan ke
arah mobil honda jazz yang berwarna biru langit, ia lalu mematikan alarm
mobilnya dan membuka pintu mobil itu. Ia membukakan pintu untuk Andi dan mempersilahkan
Andi untuk masuk, dan ia membuka pintu yang lainnya tempat kemudi mobil itu.
Mereka lalu berlalu dari stasiun kereta api ke arah toko bunga yang tadi siang
sudah Andi kunjungi.
Tidak perlu memakan waktu lama mereka sudah tiba di toko bunga. Ratih
pun menghentikan mobilnya tepat di depan toko bunga itu dan keluar dari dalam
mobil, tidak lupa ia membukakan pintu
mobil untuk Andi dan setelah itu ia menutup pintu mobil dan menghidupkan alarm
mobilnya. Mereka lalu masuk ke dalam toko bunga.
Pa Teddy yang dari tadi sedang sibuk memberi makan ikan peliharaannya,
heran karena ada orang datang ke toko bunganya sore hari. Biasanya jika sore
hari seperti ini toko bunganya sudah sepi pengunjung. Pa Andi menatap ke arah
mobil tersebut dan pada saat pintu mobil itu di buka ia tahu sekarang kalau
yang datang itu adalah Andi, tapi ia binggung kenapa Andi bisa naik mobil itu
bersama dengan seorang perempuan lagi. Apakah Andi telah melakukan kesalahan
sehingga harus ikut dengan perempuan itu, tapi tidak mungkin Andi kan anak yang
baik dan tidak pernah berbuat nakal, kalaupun Andi membuat kenakalan kenapa
harus dibawa ke sini bukannya ke kantor polisi. Ratih dan Andi lalu menghampiri
pa Tedddy.
“Loh kog Ndi
kenapa kamu ke sini lagi, bukannya jam segini kamu udah pulang?” Tanya pa Teddy
Sebelum Andi menjawab pertanyaan pa Teddy, Ratih sudah lebih dulu
berbicara “Begini pa, tadi saya ketemu sama anak ini, terus dia menawarkan
untuk menyemir sepatu saya. Pada saat ia menyemir gak sengaja saya liat ada
darah di tangannya, terus saya tanya ke dia, dia bilang kalau dia telah di
palak oleh preman dan pada saat ingin meminta kembali uang itu ia malah di
dorong hingga akhirnya tangannya jadi berdarah.” Cerita Ratih sambil
menunjukkan luka lecet yang ada pada lengan Andi.”
“Benar begitu
Ndi?” Tanya pa Teddy pada Andi sedikit prihatin.
Andi diam dan
hanya mengangguk.
“Trus tujuan
kalian ke sini ada apa?” Tanya pa Teddy penasaran.
“Begini,
preman itu tidak hanya mengambil uang Andi tapi mereka merampas bunga mawar
putih milik Andi dan menginjak bunga itu dihadapan Andi yang masih dalam
keadaan rebah karena telah di dorong oleh preman tadi.” Ratih kembali
menjelaskan kronologisnya.
“Bukan hanya
itu om, mereka juga mengambil dan memakan kue yang di kasih om tadi siang ke
Andi.” Ujar Andi menambahkan cerita Ratih.
“Kasian kamu
Ndi. Ya sudah om kasih lagi bunga buat ibu Andi.” Ujar pa Teddy.
“Andi gak mau
om, Andi mau beli bunga om, bukannya mau minta bunga.” Sahut Andi.
“Tapikan uang
Andi habis dipalak sama preman, jadi sekarang Andi gak punya uang.” Seru pa
Teddy.
“Andi punya
uang kog, untuk sementara Andi pinjam dulu uang ka Ratih, nanti kalau Andi
sudah punya uang, Andi pasti ganti uang ka Ratih.” Andi menjawab pertanyaan
dari pa Teddy.
Pa Teddy menatap ke arah perempuan yang dimaksud oleh Andi. Ia merasa
heran kenapa perempuan itu sampai memberikan pinjaman uang pada Andi dan
meminta Andi untuk menggantinya suatu saat nanti, padalah ia tahu kalau Andi
sedang mengalami kesusahan dan tak mungkin sanggup membayar pinjamannya.
Melihat tatapan heran dari pa Teddy, Ratih paham dan segera membisikkan
sesuatu pada pa Teddy untuk menjelaskan bahwa Andi tidak mau kalau ia diberi
uang dengan cuma-cuma dan satu-satunya cara adalah dengan cara meminjamkan uang
pada Andi, tapi ia tidak mengharapkan uang tersebut akan dikembalikan oleh
Andi. Setelah mendengar penjelasan dari Ratih akhirnya pa Teddy mengerti dan
menganggukkan kepalanya.
Melihat kelakukan Ratih yang berbisik pada pa Teddy, Andi menjadi
penasaran dan menanyakan hal “Ada apa sih ka, kog pakai bisik-bisik segala?” Tanya
Andi.
Ratih segera berbalik menatap Andi “Gak kog Ndi, kakak cuma bilang ke
bapak ini supaya memberi diskon buat kita.” Jawab Ratih.
“Jangankan, gak boleh gitu nanti om Teddy bisa rugi kalau kita minta
diskon.” Seru Andi.
Ratih dan pa Teddy hanya tersenyum mendengar penjelasan dari Andi. Pa
Teddy segera beranjakan dari kolam ikannya menuju ke arah taman bunga mawar
putih dan memotong tiga tangkai bunga, karena pada sore hari karyawannya sudah
pulang semua sehingga pa Teddy sendiri yang melakukannya. ia lalu menyusun
bunga-bunga itu ke dalam satu ikatan dan membalutnya dengan kertas putih dan
membungkusnya dengan plastik putih secara rapi. Ia lalu menyerahkan bunga itu
pada Andi dan Andi pun menerimanya.
“ berapa semuanya
pa?” Tanya Ratih pada pa Teddy.
“Lima belas
ribu aja mba.” Jawab pa Teddy.
“Loh kog murah
sekali pa?” Tanya Ratih bingung.
“Itu harga
untuk satu tangkai bunga, trus yang duanya saya kasih saja sama seperti bunga
yang tadi saya kasih ke Andi.” Jawab pa Teddy lagi.
“Loh kog bisa
gitu pa?” Tanya Ratih masih penasaran
“Ia memang
gitu, soalnya dua bunga ini saya kasih dengan cuma-cuma sebagai hadiah ulang
tahun untuk ibu Andi agar bisa lekas sembuh.” Pa Teddy menjelaskan.
“Oh gitu,
makasih banyak ya pa.”
Ratih lalu mengeluarkan uang lima puluh ribu rupiah dan menyerahkan
pada pa Teddy. Pa Teddy mengambil uang tersebut dan merogoh dari kantong
celananya untuk memberikan uang kembaliannya.”
“Sekali lagi
makasih ya pa.”
“Andi ayo
bilang makasih juga sama bapak ini!” Ujar Ratih pada Andi.
“Makasih ya om.”
Ujar Andi polos.
Pa Teddy hanya
mengangguk dan tersenyum. “Oh iya, kamu bilang tadikan kue kamu juga diambil
sama preman itu, kalau gitu biar om ganti juga kebetulan kuenya masih ada, biar
saya suruh bi Mirah untuk membungkusnya lagi untukmu.” Kata pa Teddy.
“Gak usah,
Andi gak mau terus merepotkan om, bunga ini aja sudah sangat cukup.” Ujar Andi.
“Gak apa-apa
kog, kamu ini kayak baru kenal sama om saja.” Seru pa Teddy.
Ratih sangat kagum melihat kebaikan pa Teddy, ia menyadari ternyata
diantara begitu banyak orang yang sibuk dengan urusannya sendiri dan tidak
memperdulikan orang lain masih ada orang yang memiliki hati sebaik pa Teddy.
“Kalian tunggu
sebentar ya di sini saya mau masuk ke dalam dulu untuk menyuruh bi Mirah
membungkus kuenya dan nanti akan saya bawa ke sini.
Tidak terlau lama akhirnya pa Teddy keluar dari rumah sambil membawa
bungkusan kue ditangan kanannya. Ia lalu menghampiri Ratih dan Andi.
“ini Ndi
kuenya.” Ujar pa Teddy menyerahkan bungkusan kue pada Andi dan Andi menerima
bungkusan kue tersebut.
“Makasih
banyak ya om.” Ujar Andi.
“Kalau mbak
mau ambil saja kuenya, kebetulan tadi saya suruh bi Mirah memasukkan kuenya
agak banyakkan.” Kata pa Teddy.
“Gak usah pa,
makasih biar buat Andi saja semua. Kalau begitu kami berdua pamit dulu, sekali
lagi terima kasih banyak ya pa.” Ujar Ratih mohon pamit pada pa Teddy
“Oh gitu, iya
sama-sama. Saya juga berterima kasih karena mbak sudah mau menolong Andi.” Ujar
pa Teddy.
“Iya pa, mari
pa kami pergi dulu.” Ujar Ratih lagi sambil mengajak Andi.
Pa Teddy
mengangguk “Kapan-kapan mampir lagi ke sini ya mba, kamu juga Ndi.” Seru pa
Teddy
Ratih dan Andi
“Iya pa.”
Ratih dan Andi pun berjalan menuju ke arah mobil Ratih diikuti pa
Teddy. Setelah sampai di mobil Ratih mematikan alarmnya lagi dan membukakan
pintu mobil untuk Andi. Andi masuk ke dalam mobil, dan Ratih juga membuka pintu
mobil yang satunya. Sekali lagi ia berpamitan pada pa Teddy dan mengucapkan
terima kasih. Pa Teddy hanya mengangguk
dan tersenyum. Ratih masuk ke dalam mobil dan akhirnya mereka meninggalkan toko
bunga itu.
Di dalam mobil
Andi dan Ratih melakukan pembicaraan. “Sekarang kita nyari obat dulu buat ibu
kamu ya Ndi.” Ujar Ratih pada Andi
“Iya ka”Balas
Andi singkat.
Ratih pun mengendarai mobilnya menuju apotek terdekat. Setelah beberapa
lama akhirnya mereka menemukan apotik yang letaknya dekat dengan simpang empat
yang ada lampu merah. Ratih segera menepikan mobilnya dan berhenti tepat di
depan apotek. Ratih dan Andi turun dari mobil berjalan ke arah apotek tersebut.
“Biasanya kamu
beli obat apa buat ibu kamu?” Tanya Ratih.
“Andi biasanya
beli obat batuk sama obat demam saja buat ibu soalnya Andi gak tau obat apa
yang yang pas buat ibu, tapi selama ini ibu gak apa-apa kog minum obat-obat itu.”
“Ya udah kalau
gitu kita beli obat yang biasa kamu beli. Kamu bilangin ya sama yang jaga
apoteknya soalnya kakak gak tau nama obatnya!”
“Iya ka” Balas
Andi dan segera memberitahukan nama obat yang biasa ia beli untuk ibunya.
Sambil menunggu penjaga apotek mencari obat yang Andi maksud mereka
berdua asyik dengan obrolan mereka. Tidak berapa lama obat yang dipesan oleh
Andi sudah ada. Penjaga apotek itu menyerahkan bungkusan kecil berwarna hitam
dan menyerahnya pada Andi.
“Ini de
obatnya.” Kata penjaga toko itu, dan Andi mengambil bungkusan obat itu dari
tangan penjaga apotek.
“Berapa mbak
harga obatnya?”Tanya Ratih.
“Semuanya lima
belas ribu mbak.” Jawab penjaga apotek itu.
Ratih
mengambil dompetnya dan mengambil uang dari dalam dompet tersebut “Ini mbak
uangnya.” Ujar Ratih
Penjaga apotek
itu mengambil uang yang diberi Ratih dan menghitung jumlahnya “Uangnya pas ya
mbak.” Ujar penjaga apotek.
“Iya mbak
makasih ya.” Jawab Ratih.
“Sama-sama
mbak.” Balas penjaga apotek.
“Makasih ya
tante.” Ujar Andi juga pada penjaga toko itu.
Penjaga toko
menjawabnya sambil tersenyum “Iya sama-sama.”
“Makasih ya ka
sudah mau nolong Andi. Maaf juga kalau Andi sudah merepotkan kaka.” Ujar Andi
pada Ratih.
“Iya, gak
apa-apa kog. Kan sudah kewajiban kita buat nolong orang yang lagi perlu
pertolongan”Sahut Ratih sambil tersenyum
“Ya udah kalau
gitu Andi pulang ya ka”
“Loh, kamu mau
pulang sendiri ya. Jangan, biar kakak antar aja kamu sampai rumah.”
“Gak usah,
Andi bisa pulang sendiri kog, lagian rumah Andi dekat kog dari sini. Andi gak
mau ngerepotin kaka terus.”
“Gak apa-apa
kog, kakak gak merasa direpotin. Kakak senang kog bantu kamu, biar sekalian
kakak tau rumah kamu. Ya, boleh ya kakak ngantar kamu sampai rumah, kan kasian
kamu nanti kemalaman sampai rumahnya.”
“Iya deh ka.”Andi
mengiyakan permintaan Ratih, karena ia
tak ingin mengecewakan Ratih.
Mendengar jawaban Andi Ratih tersenyum. Mereka berdua kembali masuk ke
dalam mobil. Ratih menjalankan mobil ke arah jalan yang ditunjuk oleh Andi yang
menuju ke rumahnya. Setelah mengemudi sekitar sepuluh menit akhirnya mereka
sampai di daerah kumuh. Daerah tersebut banyak terdapat rumah-rumah yang tidak
layak pakai, hampir sebagian dari rumah-rumah
itu ditutupi dengan kardus berkas. Di tiap rumah-rumah itu terdapat
banyak tumpukan sampah bekas kaleng plastik, plastik bekas, besi tua dan
lain-lain, tapi tumpukan-tumpukan tersebut sudah tersusun dengan rapi. Dari
tumpukan-tumpukan itu Ratih tahu kalau itu adalah mata pencaharian pemilik
rumah tersebut.
Andi menunjuk ke arah sebuah rumah, sebenarnya tidak layak untuk
disebut rumah karena bentuknya yang sangat memprihatikannya. Ukurannya tidak
lebih dari 4x5 meter saja, rumah itu hanya berdindingkan bambu dan kardus yang
ditambal dengan sembarang saja agar penghuni di dalamnya tidak kehujanan dan
kepanasan. Ratih menghentikan mobilnya dirumah yang Andi maksud. Mereka berdua
keluar dari dalam mobil.
Andi masuk ke dalam rumahnya, ia tidak melihat Lulu adiknya dalam
rumah. Ia keluar dari rumah dan berusaha mencari adiknya. Ratih tetap berdiri
di dekat mobilnya tanpa mengikuti kemana Andi pergi. Andi mendapati adiknya
sedang bermain dengan teman-teman sebayanya.
“Luluuuu”Teriak
Andi pada Lulu.
Mendengar
suara kakaknya, Lulu berhenti bermain dan menghampiri kakaknya “Kenapa kak?”
“Kog kamu
malah bermain bukannya jaga ibu.” Andi malah balik bertanya
“Lulu baru aja
kog mainnya, lagian ibu juga lagi tidur jadi Lulu bisa main sebentar.”
“Tapikan kalau
ibu bangun dan tahu kamu gak ada dirumah. Kasian ibu kalau mau apa-apa, tapi
kamu gak ada.”
“Iya ka maaf.”
Ujar Lulu meminta maaf
“Ya udah gak
apa-apa. Sekarang kita pulang, kasian ibu sendirian di rumah.” Ujar Andi pada
adiknya.
“Teman-teman
Lulu pulang dulu ya, makasih ya sudah mau main sama Lulu.”
“Iya” Jawab teman-teman Lulu bersamaan.
Andi sebenarnya kasian dengan Lulu yang harus kehilangan masa kecilnya
karena harus menjaga ibu mereka yang sedang sakit. Namun, ia tak dapat berbuat
apa-apa jika tidak demikian maka tak ada yang dapat menjaga ibu mereka.
Daripada mementingkan kebahagiaan sendiri, adalah lebih penting membahagiakan
orang yang kita sayangi, pikir Andi dalam hati.
Dalam
perjalanan pulang Lulu bertanya pada Andi “Kog kaka baru pulang sekarang,
biasanya kaka pulangnya lebih cepat, kaka sulit dapat uangnya ya hari ini?”
“Ada sedikit
masalah tadi di stasiun”Jawab Andi
“Memangnya kenapa ka?” Tanya Lulu lagi penasaran.
“Ceritanya
panjang Lu, nanti malam kaka ceritain ke Lulu..”Jawab Andi singkat.
Hampir sampai di rumah mereka, Lulu melihat ada mobil terparkir di
dekat rumahnya dan ada seorang perempuan bersandar disamping mobil tersebut.
Lulu kembali heran kenapa ada perempuan yang sedang bersandar di mobil tepat di
dekat rumahnya. Ia lalu menanyakan hal itu pada Andi.
“Tante itu
siapa ka, kog ada di depan rumah kita?” Tanya Ratih.
“Itu kaka
Ratih, dia yang nolong kaka waktu di stasiun”
“Menolong
kaka? Memangnya kenapa kaka itu sampai nolong kaka?”Tanya Lulu semakin bingung.
“Nanti saja
kaka ceritanya, semuanya ada hubungannya kenapa kaka telat pulangnya hari ini.”
Jawab Andi
“Maaf ya ka
sudah membuat kaka lama nunggunya.” Seru Andi pada Ratih.
“Gak apa-apa
kog. Ini adik kamu ya yang kamu bilang tadi ya?” Tanya Ratih sambil menunjuk
tangannya pada Lulu.
“Oh iya ka
Andi sampai lupa ngenalin Lulu ke kaka. Kenalin ka ini adik Andi, namanya Lulu.”
Ujar Andi.
Ratih
mengulurkan tangannya kepada Lulu dan dibalas oleh Lulu, mereka berdua pun
saling bersalaman. “Halo, kamu Lulu ya?” Tanya Ratih basa-basi.
“Iya ka, kalau
kaka siapa namanya?” Lulu balik bertanya.
“Panggil saja kakak
Ratih” Jawab Ratih.
“Iya ka” Sahut
Lulu sambil tersenyum.
“Ayo ka, kita
masuk ke rumah, sekalian Andi kenalin kaka sama ibu Andi.”
Ratih hanya
mengangguk dan mereka pun masuk ke dalam rumah. Andi mengambil bungkusan kue,
makanan, obat dan bunga mawar putih yang tadi diletakkanya di lantai ruang tamu
rumah mereka pada saat ia akan keluar mencari Lulu tadi. Andi lalu menyerahkan
kue dan makanan pada Lulu.
“Ini Lu, taruh
kue dan makanan ini di atas piring, terus kamu bawa ke kamar ibu biar kita
makan bareng ibu, kan kamu sama ibu dari tadi siang belum makan.” Suruh Andi
pada Lulu sambil menyerahkan bungkusan kue dan makanan itu pada Lulu.
“Baik ka.” Jawab
Lulu mengambil bungkusan kue dan makanan itu. “Itu bunga buat ulang tahun ibu
ya ka?” Tanya Lulu.
“Iya Lu. Sst,
jangan keras-keras nanti ibu dengar dan gak jadi kejutan lagi.
Mendengar perkataan Andi, Lulu segera menutup mulutnya. Melihat
kelakuan kedua kakak-beradik tersebut Ratih hanya bisa tersenyum. Ratih salut
pada mereka berdua, meskipun dalam keadaan sulit sekalipun tapi mereka masih
bisa membuat orang lain di sekitarnya ikut tersenyum. Mereka lalu masuk ke
dalam kamar yang ukuranya hanya 2x2 meter.
“Ibu Andi
sudah pulang bu, maaf ya Andi telat pulangnya soalnya ada sedikit masalah di
stasiun.” Kata Andi pada ibunya.
Ibu Andi hanya
diam saja, dan masih memejamkan matanya tanpa sedikit pun terbuka.
“Ibu kog diam
aja, ibu masih ngantuk ya?” Tanya Andi.
Ibu Andi tetap saja tanpa berkata sedikitpun. Andi segera duduk di
dekat ibunya berusaha membangunkan ibunya, namun ibunya tak sedikit pun
membukakan matanya. Andi mengenggam tangan ibunya, ia merasa tangan ibunya
dingin sekali dan ia mengira penyakit ibunya kambuh lagi.
“Kak, kog
tangan ibu dingin sekali ya?”Tanya Andi pada Ratih
Mendengar pertanyaan Andi Ratih menjadi was-was, segera ia duduk di
dekat Andi dan mencoba memegang tangan ibu Andi. Ia merasakan hal yang sama
seperti yang dirasakan Andi. Ratih segera memegang pergelangan tangan ibu Andi
dan berusaha mencari denyut nadi ditangan itu, namun Ratih tidak merasakan sama
sekali denyut nadi ditangan tersebut. Ia mencari dengan teliti denyut nadi ibu
Andi tapi tetap tidak merasakan sama sekali. Ia masih penasaran dan mencoba
merasakan napas ibu Andi, siapa tahu karena denyut nadinya terlalu lemah jadi
Ratih tidak dapat merasakan denyut nadi. Dengan gemetaran Ratih mengarahkan
telunjuk tangan kanannya tepat di bawah hidung ibu Andi, dari hidung ibu Andi
ia tidak merasakan napas sama sekali. Ratih tak dapat menahan air matanya,
namun ia masih tetap tak mau menyerah ia lalu mencoba membuka kelopak mata ibu
Ratih, ia semakin tak dapat berkata apa-apa, karena mata ibu Andi sudah
berwarna putih semua. Ratih menutup mulutnya karena tak ingin menangis di depan
Andi. Melihat Ratih menangis, Andi menjadi kebingungan.
“Ibu Andi
kenapa ka?” Tanya Andi pada Ratih
Ratih tidak
menjawab pertanyaan Andi, ia hanya mendekap erat tubuh Andi.
“Maafkan kakak
ya.” Ujar Ratih membisikkan kata pada Andi sambil menangis.
“Maaf untuk
apa ka, kaka gak ada salah apa-apa sama Andi?” Tanya Andi.
“Maaf karena
kaka gak bisa menolong ibu Andi.”
“Memangnya ibu
Andi kenapa ka?” Tanya Andi kebingungan.
“Ibu Andi
sudah gak ada.” Jawab Ratih tersedu-sedu sambil mengeluarkan air mata yang
cukup banyak.
“Ibu Andi
sudah gak ada? brarti ibu Andi sudah meninggal ya ka?” Tanya Andi masih tidak
percaya
Ratih hanya
menggangguk.
“Kakak bohong.”
seru Andi sedikit marah.
“ibu bangun
bu, ibu gak meninggalkan. Ibu masih hidup kan. Ka Ratih bohong kan bu.” Ujar
Andi pada ibunya sambil menggoyang-goyangkan tubuh ibunya.
Namun ibunya hanya diam saja. Melihat hal itu Andi kembali berbicara
pada ibunya dan ia tak dapat menahan air matanya. “Ibu bangun bu, Andi bawa kue
sama makanan buat ibu. Andi juga bawa bunga mawar putih hadiah ulang tahun buat
ibu.” Ucap Andi pada ibunya sambil mengarahkan bunga mawar putih itu ke wajah
ibunya. Untuk yang kesekian kalinya ibu Andi tetap tak bergeming.
“Ibu bangun
bu, ibu jangan ninggalin Andi sama Lulu. Kalau ibu gak ada, gak ada yang jaga
Andi sama Lulu. Ibu bangun bu, ibu sayangkan sama Andi dan Lulu, ibu gak mau
kan liat Andi dan Lulu sendirian di rumah ini.” Ujar Andi pada jasad ibunya.
“Ibu bangun
bu. Bangun bu.” Ujar Andi lagi.
Andi sudah tak dapat berkata apa-apa lagi ia hanya menangis
sejadi-jadinya sambil mendekap bunga mawar putih dan memeluk ibunya. Melihat
hai itu Ratih mengangkat tubuh Andi dari jasad ibunya, dan memeluk erat tubuh
Andi serta menangis bersama Andi.
“Kenapa ibu
tega ninggalin Andi dan Lulu ka?” Tanya Andi pada Ratih
“Itu sudah
rencana Tuhan Ndi, kita gak bisa berbuat apa-apa.” Jawab Ratih.
“Kenapa Tuhan
jahat ka ngambil ibu Andi disaat Andi dan Lulu masih memerlukan ibu?” Tanya
Andi lagi.
“Tuhan gak
jahat Ndi, Tuhan tahu yang terbaik buat anak-anak-Nya”
“Kalau Tuhan
baik kenapa Tuhan ngambil ibu Andi?” Tanya Andi tetap tak percaya.
“Karena Tuhan
gak mau lihat ibu Andi menderita dan Tuhan gak mau Andi dan Lulu menanggung
beban yang terlalu berat diusia kalian yang masih belia ini.” Ratih
menjelaskan.
“Tapi ka,
kalau ibu Andi gak ada siapa yang menjaga Andi dan Lulu?” Tanya Andi.
“Tenang Ndi,
disaat satu pintu tertutup pasti ada pintu lain yang dibukakan Tuhan buat kita.
Andi harus percaya Tuhan pasti menjaga Andi dan Lulu melalui orang-orang yang
sudah dipilihnya untuk menjaga kalian berdua.” Jawab Ratih sambil tetap
meneteskan air mata.
Andi dan Ratih kembali berpelukan dan kembali menangis bersama. Lulu
yang baru saja selesai menaruh kue dan makanan ke atas piring datang ke kamar
sambil membawa kue dan makanan tersebut. Ia bingung kenapa Andi dan Ratih
menangis sambil berpelukan. Ia lalu menghampiri mereka berdua.
“Kog ka Andi
sama ka Ratih menangis, memangnya ada apa?” Tanya Lulu.
Melihat kedatangan Lulu Ratih segera merangkul tubuh Lulu dan diikuti
oleh Andi. Mereka berdua tetap menangis dan tak satupun yang menjawab
pertanyaan Lulu. Melihat hal itu Lulu semakin bingung dan tak bisa berbuat
apa-apa.
“Kenapa sih
kog Lulu dipeluk?”Tanya Lulu lagi.
“Ibu kamu
sudah gak ada Lu.” Jawab Ratih lalu melepaskan pelukannya pada Andi dan Lulu.
“Maksudnya?” Tanya
Lulu masih bingung.
“Ibu kamu
sudah meninggal Lu.” Jawab Ratih.
“Ibu
meninggal. Beneran ka?” Tanya Lulu pada Andi karena masih tak percaya.
Andi tak
menjawab apa-apa ia hanya mengangguk sambil
air matanya tetap dibiarkannya mengalir.
Mendengar hal
itu Lulu menangis dan berteriak sambil tangannya menggoyang-goyangkan jasad
ibunya sama seperti yang di lakukan Andi tadi. “Ibu bangun bu jangan tinggalin
Lulu. Ibu bangun bu.”
Lulu sudah tak dapat berkata apa-apa lagi ia hanya menangis
sekeras-kerasnya. Melihat hal itu Andi berusaha mengangkat tubuh Lulu, namun
Lulu tak mau, ia tetap memeluk tubuh ibunya.
“Lu sudah lu,
biarkan ibu tenang di surga sana” Ujar Andi yang sudah dapat menahan emosinya.
Ia sekali lagi mengangkat tubuh Lulu, Lulu segera berbalik dan memeluk tubuh
kakak dan menangis di pundak kakaknya. Melihat hal seperti itu Ratih tak dapat
menahan air matanya lagi. Ia sangat kagum dengan sikap Andi, ia dapat bangkit
dari kesedihannya dan sekarang berbalik menjadi orang yang berusaha menguatkan
adiknya.
Suara tangisan yang keras dari Lulu terdengar hingga ke rumah-rumah
tetangga mereka. Para tetangga kiri kanan mereka datang berlarian ke dalam
rumah Andi karena mendengar suara tangisan Lulu. Mereka kaget karena melihat
Andi memeluk Lulu yang menangis dan Ratih yang juga menangis disamping mereka
berdua. Setelah mereka melihat ke arah ibu Andi yang terbaring diam akhirnya
mereka mengerti kenapa ketiga orang itu menangis. Para tetangga yang kebanyakan
adalah ibu-ibu pun tak dapat menahan air mata mereka, mereka sangat kasihan
dengan nasib Andi dan Lulu yang usianya masih sangat belia harus ditinggal oleh
ayah dan ibu mereka.
Ratih akhirnya dapat mengontrol emosinya, ia tidak lagi menangis.
Melihat banyak tetangga yang datang mengerumuni rumah Andi ia lalu bangkit
berdiri dan membiarkan ibu-ibu itu menghampiri jenasah ibu Andi. Karena kamar
rumah Andi yang begitu sempit jadi para tetangga bergantian masuk ke dalam
kamar tersebut. Mereka menangis di depat jasad tersebut, dan mereka juga
merangkul Andi dan Lulu serta menenangkan hati Andi dan Lulu. Lulu akhirnya
berhenti mereka menangis, mereka lalu bangkit dari kamar rumah mereka dan
keluar menghampiri Ratih.
Semakin banyak yang datang ke rumah Andi, bahkan ibu-ibu yang ditemui
Andi pagi tadi di pemandian pun datang ke rumah Andi. Mereka menangis dan
memeluk Andi.
“Kalian berdua
yang sabar ya, Tuhan pasti ngasih tempat yang terbaik buat ibu kalian”Ujar ibu
yang berperawakan agak gemuk yang bernama ibu Ningsih.
“Iya bi,
makasih ya bi sudah datang untuk melayat?”
“Iya, kalian
berdua jangan kuatir ya, nanti bibi yang bakalan jaga kalian menggantikan ibu
kalian”Ujar ibu Ningsih sambil terisak-isak
“Iya bi,
makasih ya bi”Ujar terharu dan mendekap erat tubuh ibu Ningsih.
Bu Ningsih
menggangguk dan mengeratkan pelukannya pada Andi.
Para tetangga yang datang berinisiatif untuk mengurus jenasah ibu Andi,
ada yang membawa baju ganti agak jenasahnya dapat terlihat lebih bagus, ada
yang membawa dan memandikan jenasah tersebut di belakang rumah Andi, dan ada
yang membuat peti jenasah dengan menggunakan papan yang ada disekitar pemukiman
rumah mereka, karena sudah malam maka mereka berencana memakamkan jenasah ibu
Andi keesokan harinya.
Waktu menunjukkan pukul tujuh malam, tidak terasa
sudah dua jam Ratih berada di rumah Andi, karena khawatir pulangnya nanti
terlalu malam dan takut orang tuanya bingung mencarinya, akhirnya Ratih
memutuskan untuk pamit pulang.
“Andi,
kakak pamit pulang dulu ya soalnya sudah malam.” Ujar Ratih pada Andi.
“Iya,
makasih ya ka sudah mau menolong Andi.” Balas Andi pada Ratih.
“Iya
sama-sama. Besok kakak usahakan untuk bisa ikut ke pemakaman ibu kamu.” Kata
Ratih.
“Iya
ka, tapi kalau kaka gak bisa juga gak apa-apa kog ka, kasihan kan kalau kaka
sampai gak masuk kerja.”
“Gak
apa-apa kog, kaka pasti usahain datang kog.” Ujar Ratih meyakinkan Andi.
“Makasih
banyak ya ka”
“Iya.
Lu kakak pulang dulu ya.” Ujar Ratih pada Lulu sambil menjabat tangan Lulu.
“Bu
saya pulang dulu ya bu ” Ujar Ratih pada bu Ningsih.
“Iya,
makasih ya mbak.” Balas bu Ningsih.
Ratih menggangguk dan ia juga berpamitan ke tetangga
yang ada di dalam rumah Andi. Andi, Lulu dan bu Ningsih mengantarkan Ratih
pulang sampai ke depan rumah. Ratih membuka dan masuk ke dalam mobilnya. Ia
membuka kaca mobilnya dan sekali lagi ia berpamitan kepada mereka bertiga serta
dibalas anggukan oleh mereka bertiga.
Andi, Lulu dan bu Ningsih masuk ke dalam rumah dan
menuju ke kamar untuk duduk di dekat jenasah ibu Andi yang sudah dimasukkan ke
dalam peti jenasah. Tak berapa lama seorang pendeta datang dan mereka
mengadakan kebaktian menunggu jenasah. Setelah kebaktian selesai, para tetangga
pulang ke rumah mereka masing-masing dan hanya beberapa orang yang berada di
dalam rumah Andi untuk ikut menunggu jenasah. Ibu Ningsih juga tidak pulang, ia
berniat untuk menemani Andi dan Lulu malam ini. Ibu Ningsih teringat dengan
Ratih yang tadi datang ke rumah Andi, lalu ia menanyakan hal itu pada Andi.
“Andi,
bibi boleh nanya gak,mbak yang datang ke sini naik mobil itu siapa?” Tanya bu
Ningsih pada Andi.
“Oh
itu, kaka itu namanya Ratih, dia yang nolong Andi tadi sore waktu di stasiun.” Jawab
Ratih.
“Menolong
kamu? Memang kamu kenapa tadi di stasiun?”
Andi pu menceritakan kejadian yang ia alami di
stasiun kereta api, Ratih yang menolongnya sampai Ratih yang mengantarkannya
pulang ke rumah. Mendengar cerita dari Andi akhirnya ibu Ningsih mengerti, dan
ia bersyukur karena masih ada orang yang baik seperti Ratih.
“Ya
sudah kalau begitu kalian berdua tidur saja, kasian kalian sudah kelelahan.
Biar ibu yang jaga di sini”Ujar bu Ningsih pada Andi dan Lulu.
Andi dan Lulu menuruti perkataan ibu Ningsih, mereka
pun keluar kamar dan tidur di ruang tamu yang ukurannya cukup besar
dibandingkan kamar mereka. Mereka tidur
tanpa menggunakan bantal ataupun guling, hanya beralaskan lantai.
Keesokan harinya Andi bangun pukul lima pagi, ia
melihat masih ada sekitar 5 orang yang ikut menunggu jenasah ibunya di dalam
rumah mereka termasuk ibu Ningsih yang tertidur di dekat peti jenasah ibunya.
Andi masuk ke dalam kamar jenasah ibunya, karena kedatangan Andi ibu Ningsih jadi
terbangun.
“Kamu
sudah bangun Ndi?” Tanya Ningsih.
“Iya
bi”
“Oh...
Lulu mana? Masih tidur ya? Tanya bu Ningsih lagi.
“Iya
bi”
“Ya
sudah biarkan dia tidur, kasihan dia kelelahan habis menangis tadi malam.”
“Bibi
juga kalau masih mengantuk tidur saja, biar Andi yang jaga di sini.”
“Gak
apa-apa kog Ndi, lagian setelah kalian
tadi malam pergi tidur, karena bibi merasa mengantuk akhirnya bibi tidur juga.”
Ujar bu Ningsih.
“Andi,
karena bapak dan ibumu sudah tidak ada, jadi kalian berdua ikut bibi saja biar bibi
bisa menjaga kalian.”
“Gak
usah bi, Andi gak mau merepotkan bibi. Bibi kan harus mengurusi paman, Menik,
Anto dan Agil, kalau Andi dan Lulu ikut bibi juga kasihan kalian bi harus
berbagi makanan dengan kami berdua.”
“Gak apa-apa kog Ndi, bibi bisa kog mengatur semuanya, kamu jangan kuatir masalah itu. Yang bibi kuatirkan kalau terjadi apa-apa pada kalian, tidak ada yang bisa merawat kalian berdua.” Ujar bu Ningsih menjelaskan.
“Gak apa-apa kog Ndi, bibi bisa kog mengatur semuanya, kamu jangan kuatir masalah itu. Yang bibi kuatirkan kalau terjadi apa-apa pada kalian, tidak ada yang bisa merawat kalian berdua.” Ujar bu Ningsih menjelaskan.
“Tapi
bi, kalau Andi dan Lulu tinggal di rumah bibi takutnya gak tempat buat kalian
tidur, kan kasihan bibi, paman dan anak-anak bibi yang lain harus tidur
berdesak-desakkan.” Balas Andi.
“Iya
juga sih.” Ujar bu Ningsih lagi. Iyapun berpikir sejenak dan akhirnya “Begini
saja Ndi, rumah kalian ini kita pindah saja, kan di sebelah rumah bibi masih
ada tanah yang kosong, nanti kita semua bersama warga yang memindahkannya.” Bu
Ningsih kembali memberi solusi.
“Tapi
bi, apakah tidak menyusahkan orang lain?’Tanya Andi
“Gak
apa-apa, mereka pasti mau kog membantu kita.”
“
Ya sudah kamu jangan pikirkan masalah itu lagi, sekarang kamu bangunkan Lulu
karena hari sudah terang setelah itu kalian berdua pergi mandi sana, nanti gak
sempat kalau orang-orang keburu datang untuk berangkat memakamkan ibu kalian.” Perintah
bu Ningsih.
“Baik
bi” Ujar Andi dan ia segera membangunkan Lulu.
Waktu menunjukkan pukul sembilan pagi, orang-orang
sudah datang untuk ikut memakamkan ibu Andi. Semasa masih hidupnya, ibu Andi
merupakan orang yang bersahaja dan mudah bergaul dengan orang sekitarnya,
itulah sebabnya banyak orang yang ikut dalam pemakamannya. Diantara orang-orang
tersebut terdapat sahabat Andi sesama
penyemir sepatu, mereka adalah Ito dan Ujang. Mereka berdua menemani
Andi dan Lulu duduk di dalam kamar jenasah.
“Gue
turut brduka cita ya Ndi.” Ujar Ito.
“Gue
juga Ndi” Seru Ujang.
“Iya
makasih ya. Makasih juga kalian sudah mau datang ke pemakaman ibu Andi.” Balas
Andi.
“Ah
lo kaya baru kenal kita aja, gak perlu bilang kaya gitu. Kita kan sahabat,
disaat lo punya masalah pasti kami bakalan selalu ada buat lo. Ya gak Jang”
“Iya
Ndi, jadi lo kalau punya masalah bilang aja ke kita”
“Tumben
otak lo jalan Jang hari ini, meskipun rada gak nyambung” Ujar ito.
Andi tersenyum melihat kelakuan kedua sahabatnya.
Andi beruntung memiliki sahabat seperti Ito dan Ujang yang mampu membuatnya
tersenyum disaat terpurut sekalipun. “Iya makasih ya”
“Nah gitu dong senyum, jangan murung aja. Kalau lo sedih kita-kita jadi sedih liatnya.” Ujar Ito lagi.
“Nah gitu dong senyum, jangan murung aja. Kalau lo sedih kita-kita jadi sedih liatnya.” Ujar Ito lagi.
Andi
kembali tersenyum dan bahkan mukanya kembali menjadi cerah.
Beberapa menit kemudian bapak pendeta yang memimpin
acara pemakaman datang, mereka mengadakan kebaktian pemberangkatan jenasah.
Pada saat ibadah itu dilakukan juga dilakukan acara menutup peti jenasah,
ketika peti jenasah akan ditutup Andi dan Lulu tak dapat menahan air matanya
karena harus melihat ibunya untuk yang terakhir kalinya. Ito dan Ujang
menepuk-nepuk pundak Andi untuk menguatkan hati sahabatnya itu. Lulu menangis
dengan keras dan berusaha untuk memeluk ibunya, namun untunglah ada ibu Ningsih
yang menenangkannya dan acara penutupan jenasah dapat dilakukan. Jenasah pun
digotong untuk di bawa ke tempat pemakaman. Tempat pemakaman letaknya tidak
jauh dari rumah Andi, hanya memerlukan waktu lima belas menit untuk
menempuhnya.
Acara pemakaman berlangsung dengan penuh haru,
tetangga yang dekat dengan ibu Andi tidak dapat menahan air matanya. Andi sudah
dapat menahan emosinya, pada saat peti jenasah ibunya dimasukan ke dalam liang
kubur ia tidak menangis, ia hanya menatap dengan tatapan kosong ke peti jenasah
ibunya yang perlahan-lahan tertutup oleh timbunan tanah. Sebaliknya, Lulu
kembali menangis keras dan tak dapat menahap kesedihannya karena telah
ditinggal ibunya, hanya ibu Ningsih yang setia untuk menenangkan Lulu, dan
membisikkan sesuatu pada Lulu untuk menenangkan hatinya.
Ada yang menarik dari acara pemakaman ibu Andi. Pada
saat tabur bunga, bunga yang digunakan semuanya adalah bunga mawar putih yang
telah dilepas dari tangkainya dan dilepas satu persatu dari kuntumnya. Andi
menyadari hal itu dan ia berniat jika ia pulang nanti ia akan menanyakan hal
itu pada bu Ningsih, karena bu Ningsih dan suaminya lah yang membuat bunga
tabur itu.
Pemakaman akhirnya selesai dilakukan, orang-orangpun
pulang sambil satu persatu menyalami dan memeluk Lulu dan Andi. Tidak ketinggalan
Ito dan Ujang ikut serta menyalami Andi.
“Yang
kuat ya Ndi, Ibumu sudah tenang disana.” Ujar Ito.
“Makasih
ya To, kamu dan Ujang memang sahabat Andi yang terbaik.”
Ito
tersenyum dan merangkul Andi “Kami pulang duluan ya Ndi, soalnya mau langsung berangkat
ke stasiun buat nyemir lag.i” Ujar Ito.
“Iya
To, makasih ya sudah mau menyempatkan datang ke pemakaman ibu Andi.
“Iya
sama-sama.”
“Hari
ini Andi cuti kerja ya.” Celetuk Andi.
Ito
dan Ujang tertawa mendengarnya dan mengangguk sambil tersenyum.
Pa Teddy ternyata juga hadir dalam acara pemakaman
ibu Andi. Ia mengetahui meninggalnya ibu Andi dari Ratih yang tadi malam
menemuinya ke toko bunga. sebelum pulang ke rumah Ratih menyempatkan dulu pergi
ke toko bunga, karena ia merasa pa Teddy harus mengetahui hal itu. Melihat
kedatangan pa Teddy, Andi tersenyum dan menyalaminya.
“Makasih
ya om sudah mau datang.”i
“Iya
Ndi, kamu yang tabah ya. Kamu kalau butuh bantuan om jangan segan-segan ya
kasih tau om, kalau om bisa bantu pasti om bantu.” Ujar pa Teddy.
“Iya
om makasih banyak.”
“Oh
iya om, bunga yang om kasih kemarin gak sempat Andi kasih ke ibu soalnya ibu
sudah meninggal duluan sebelum Andi sempat menyerahkan bunga itu. Tapi om
jangan kecewa, bunganya Andi taruh di situ.” Ujar Andi menunjukan bunga mawar
putih yang ia taruh di tanah makam ibunya dan bersandar di tiang salib ibunya.
Pa
Teddy memandang bunga itu dan tersenyum simpul “Gak apa-apa kog Ndi, kan sama
juga artinya tetap bisa dikasih buat ibu kamu meskipun tidak secara langsung.”
“Andi
kamu mau tahu gak kalau yang ngasih bunga mawar putih yang ditabur ini adalah
paman ini.” Ujar bu Ningsih pada Andi.
“Beneran
om?” Tanya Andi
Pa
Teddy hanya tersenyum.
“Tadi,
sewaktu kamu di dalam rumah dan ngobrol sama teman-temanmu, paman ini datang
bawa bunga tabur ini ke bibi.” Ujar bu Ningsih
“Tapi kog bisa langsung dikasih ke bibi, kan
om Teddy gak tau kalau ibu yang ngurus bunga tabur?” Tanya Andi
“Soalnya
pada saat paman ini datang, bibi sedang memotong bunga untuk membuat bunga
tabur. Paman ini menghampiri bibi dan mengatakan pada bibi untuk tidak usah
membuat bunga tabur karena ia telah mebuatnya. Awalnya bibi bingung, tapi
setelah paman ini menjelaskan akhirnya bibi mengerti.” Bu Ningsih menjelaskan.
“Oh.”
“Sekali
lagi makasih banyak ya om, Andi benar-benar gak tau gimana caranya membalaskan
kebaikan om, soalnya om sudah terlalu banyak membantu Andi.” Ujar Andi pada pa
Teddy.
“Iya
sama-sama. Kamu gak usah memikirkan bagaimana membalasnya. Om kan tadi sudah
bilang kalau om bisa bantu pasti om bantu kamu” Balas pa Teddy.
“Makasih
om, tapi Andi janji bakalan balas kebaikan om meskipun gak tau kapan waktunya.”
Ujar Andi tersenyum dibalas senyum oleh pa Teddy.
Diantara orang-orang yang datang teryata Ratih hadir
ke acara pemakaman tersebut. Ratih datang tidak sendirian, ia datang bersama
seorang bapak yang usianya kira-kira 50an. Andi melihat ke arah Ratih, ia
sepertinya pernah melihat bapak yang jalan bersama Ratih itu. Yang lebih
menarik adalah Ratih dan bapak itu sama-sama membawa karangan bunga yang dibuat
dari bunga mawar putih seluruhnya. Mereka berdua datang menghampiri Andi.
“Makasih
ya ka sudah bela-belain datang ke pemakaman ibu Andi”Ujar Andi.
“Iya,
kan tadi malam kakak sudah janji bakalan datang ke pemakaman in.i”
“Om, kog bisa hadir ke pemakaman ibu Andi?” Tanya
Andi pada bapak yang bersama Ratih
“Oh
iya, kenalin ini bos kakak.” Ujar Ratih pada Andi.
Bapak
itu menjabat tangan Andi, bu Ningsih, Lulu dan pa Teddy.
“Andi
sudah kenal kog ka. Ini om Herman kan, om ini kan yang kemarin sepatunya Andi
semir.” Ujar Andi polos.
Ratih
tersenyum”Iya Ndi. Jadi begini Ndi, tadi pagikan kakak mau minta izin buat ikut
acara pemakaman ibu kamu. Bapak Herman ini menanyakan siapa yang meninggal,
kakak ceritakan semuanya tentang kamu ke bapak. Pak Herman teringat kalau
kemarin ia juga bertemu sama kamu, makanya ia mengizinkan kakak ikut pemakaman
ini dan yang lebih membanggakan adalah bapak ini juga mau ikut ke pemakaman
ini.” Ratih menjelaskan.
“Makasih
ya om, makasih ya ka.” Ujar Andi pada Ratih dan om Herman.
“Oh
iya, tadi sebelum ke sini saya sama pak Herman berhenti sebentar ke toko bunga
buat membeli karangan bunga ini.” Ujar Ratih.
Ratih meletakkan karangan bunga ini di tengah makam
ibu Andi diikuti om Herman yang menaruh di depannya. Pada karangan bunga Ratih
tertulis ”Beristirahatlah yang tenang dan percayalah Tuhan ada bersama-Mu” dari
Ratih Septiasih “Orang yang tak mengenalmu namun merasakan kasihmu melalui
anak-anakmu”. Sedangkan pada karangan bunga om Teddy “Pulanglah ke Rumah Bapak
di sorga, karena Ia telah menyediakan tempat terbaik bagimu” dari Herman Prana.
“Oh
iya Ndi, kakak ada kabar bahagia buat kamu. Tadi sewaktu kakak dan pak Herman
ke sini pak Herman memberitahukan ke kakak kalau bapak berniat untuk mengasuh
kamu sama Lulu, dia ia mau menyekolahkan kalian berdua.” Ujar Ratih.
“Tapi
kak, om Herman kan baru kenal sama Andi kog mau mengasuh Andi.” Tanya Andi.
“Kamu
tenang saja, bapak ini baik kog, dia kagum sama ketulusan dan motivasi kamu dan
dia gak mau melihat kamu dan adikmu kehilangan masa depan hanya karena
kehilangan kedua orang tua kalian.” Ratih menjelaskan.
“Tapi
ka, bi Ningsih juga mau mengasuh kami, dan Andi sudah mengiyakannya.” Ujar Andi
lagi.
‘Gak
apa-apa kog Ndi, bu Ningsih ikhas kog kamu sama Lulu di asuh paman ini.” Ujar
bu Ningsih pada Andi.
“Beneran
bi?” Tanya Andi dan dibalas anggukan oleh bu Ningsih.
“Makasih
ya bi. Makasih ya om Herman. Makasih ya om Teddy. Makasih juga ya ka Ratih.
Andi benar-benar terharu mendengar hal ini, karena disaat Andi dan Lulu jatuh,
masih ada orang-orang baik yang mau menolong kami.”
“Oh
iya ka, Andi janji bakalan melunasi semua hutang Andi pada kaka”Ujar Andi
Tegas.
Ratih tidak menjawab, ia hanya mengangguk dan
tersenyum dan diikuti oleh senyuman bu Ningsih, om Herman om Teddy dan juga
Lulu. Mereka pun pulang dari pemakaman itu, sebelum pulang Andi menaruh sebuah
kertas yang ia tulis sebelum berangkat ke pemakaman. Di atas kertas itu
tertulis:
Ibu, terima kasih buat segala kebaikanmu,
terima kasih sudah mendidik Andi dan Lulu menjadi anak-anak yang takut akan
Tuhan. Ibu telah mengajarkan tentang bagaimana mensyukuri berkat Tuhan
sekalipun tidak seberapa. Ibu telah mengajarkan bagaimana cara mengasihi sesama
dan tidak menyakiti perasaan orang lain.
Ibu sebenarnya Andi sedih ibu harus ninggalin
Andi dan Lulu disaat kami masih perlu kasih sayang darimu. Tapi, setelah kak
Ratih dan bi Ningsih memberikankan Andi penjelasan akhirnya Andi sadar,
sekalipun ibu sudah gak bisa lagi menjaga kami, namun Tuhan pasti menjaga kami
dan mengasihi kami melalui orang-orang
seperti mereka.
Ibu gak perlu kuatir mengenai Lulu, Andi janji
akan menjadi kakak yang baik buat Lulu. Andi gak akan membuat Lulu bersedih
lagi. Ibu juga jangan mengkuatirkan nasib kami ya bu, Andi percaya kog Tuhan
pasti akan menolong Andi dan Lulu dengan cara-Nya yang hebat.
Ibu, Andi percaya sekarang ibu pasti sudah
ketemu bapak. Ibu dan bapak pasti ada bersama Bapa di sorga.
Terima kasih ya bu buat segala cinta kasih yang
sudah ibu beri buat Andi dan Lulu. Meskipun ibu hanya sebentar bersama kami,
tapi ibu sudah memberikan kami yang terbaik.
Beristirahatlah yang tenang karena kau telah
menyelesaikan perkerjaanmu yang baik di dunia ini.
Andi dan Lulu akan selalu mengingat ibu dan
bapak seumur hidup.
Dari anak-anakmu yang mencintaimu
Andi dan Lulu
Andi dan Lulu